Sabtu, 18 Juni 2011

Mengapa Ujian Nasional (Tidak) Harus Dilaksanakan?

Ada dua kutub pendapat tentang ujian nasional (UN) yang (tentu saja) saling bertentangan.  Pendapat pertama, yang merupakan “arus utama” yang diusung pemerintah, menyatakan bahwa UN harus dilaksanakan.  Selain karena merupakan amanat peraturan perundang-undangan, khususnya PP 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, UN juga diperlukan sebagai alat untuk mendorong peningkatan kualitas pendidikan.

Logikanya, kalau ada alat evaluasi yang terstandar (antara lain ya UN itu), maka proses belajar mengajar akan terdorong untuk menuju ke arah itu.  Masih terkait dengan kualitas, UN juga dianggap sebagai satu-satunya alat evaluasi yang bersifat obyektif atau bebas dari subyektivitas guru/sekolah.
Pendapat tersebut tentu saja tidak ngawur atau “asbun”.  Woessman (2001) dalam artikelnya berjudul “Why Students in Some Countries Do Better” menunjukkan bahwa negara-negara yang memiliki sistem evaluasi atau ujian yang terpusat (antara lain: ujian nasional) cenderung menunjukkan kualitas pendidikan yang lebih tinggi.

Pendapat yang mendukung pelaksanaan ujian nasional tersebut juga bukannya tidak tahu, bahwa menurut PP 19/2005 UN “hanya” merupakan salah satu alat evaluasi (kriteria kelulusan) di samping penilaian oleh guru/sekolah.

Akan tetapi, karena tidak ada penjelasan lebih lanjut tentang hal itu (dalam Penjelasan PP, dianggap “Sudah Jelas”, pemerintah melakukan penafsiran bahwa meskipun bukan satu-satunya kriteria, kelulusan UN sifatnya mutlak. Artinya, kalau tidak lulus UN, meskipun lulus untuk kriteria lain, hasilnya tidak lulus secara keseluruhan.

UN juga dilihat sebagai instrumen untuk melihat sebaran kualitas pendidikan antar sekolah atau daerah.  Karena soalnya standar (sama), maka hasil UN dapat secara obyektif digunakan untuk membedakan hasil belajar siswa antar sekolah/daerah.  Hal itu tidak bisa dilakukan dengan menggunakan nilai ujian sekolah, karena selain soalnya tidak sama, kriteria penilaian antar sekolah/daerah juga tidak sama.

Tidak Adil
Sementara itu, opini yang menentang pelaksanaan UN secara uumum mengacu pada dua hal.  Pertama, penilaian (melalui UN) hanya merupakan salah satu standar nasional yang harus dilaksanakan oleh pemerintah di luar standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, serta pembiayaan.

Oleh karena itu, pemerintah dianggap tidak fair apabila keukeuh melaksanakan UN dengan alasan “amanat undang-undang” tanpa melaksanakan standar-standar lain yang juga merupakan amanat undang-undang.  Dengan kata lain, tidak adil kalau sekolahnya tidak standar, gurunya tidak standar, misalnya, tetapi siswa diuji secara standar.

Alasan lain di balik penolakan terhadap UN adalah berbagai kecurangan yang terjadi dalam pelaksanaannya.  Kecurangan tersebut bahkan berkecenderungan terjadi secara sistematis, dalam arti melibatkan berbagai pihak (termasuk guru/sekolah) dan terencana.  Dalam beberapa kasus, guru bahkan menganjurkan siswanya untuk saling bekerjasama (baca: saling menyontek) dalam pengerjaan soal UN.

Di luar itu, sebenarnya ada keberatan yang sifatnya lebih fundamental, yang masih terkait fungsi UN sebagai penentu kelulusan yang bersifat mutlak.  UN dianggap bukan alat evaluasi yang baik, karena sifat evaluasinya yang sesaat (hanya pada waktu ujian).

Padahal, sebagaimana diatur oleh PP 19/2005 sendiri, proses evaluasi yang baik harus dilakukan secara berkesinambungan.  Evaluasi sesaat semacam UN telah mendorong pola pembelajaran alas bimbel (bimbingan belajar) yang hanya difokuskan pada kemampuan mengerjakan soal ketimbangan penguasaan inti materi pembelajaran.

Berbagai keberatan itulah yang kemudian tertuang dalam gugatan terhadap pemerintah untuk membatalkan atau paling tidak menunda pelaksanaan UN.  Akhir proses itu sudah diketahui bersama, yakni Mahkamah Agung (MA) memberikan “lampu hijau” pelaksanaan UN, meskipun sempat mengeluarkan keputusan yang berindikasi pada penundaah UN.

Solusi
Jika ditelaah dengan “kepala dingin”, sebenarnya kedua pendapat tersebut di atas (yang mendukung maupun yang menolak UN) sama-sama mengandung kebenaran dan sekaligus juga kesalahan.  Oleh karena itu, seyogyanya dicari jalan tengah.

Yang pasti adalah, pelaksanaan UN merupakan amanat undang-undang yang tidak dapat diabaikan begitu saja oleh pemerintah.  Tidak melaksanakan UN (dan juga standar yang lain, sebenarnya) merupakan sebuah pelanggaran, meskipun mungkin akan banyak yang senang dengan keputusan itu.
Di sisi lain, pemerintah juga tidak bisa menafikan berbagai persoalan terkait dengan UN.  Masalah kecurangan mungkin dapat diatasi dengan pengawasan yang lebih ketat. Pemenuhan standar yang lain juga dapat dilakukan secara bertahap melalui berbagai program yang telah disusun dan dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan Nasional.

Tapi masalah UN tidak hanya berhenti sampai di situ.  Jika ditelusuri lebih mendalam, pangkal persoalan UN terletak pada fungsinya sebagai kriteria kelulusan yg bersifat mutlak (meskipun bukan satu-satunya).

UN sebagai kriteria mutlak kelulusan tidak adil bagi siswa yang sekolahnya jauh tertinggal dari sekolah lain dalam hal sarana prasarana, ketersediaan buku, jumlah dan kualitas guru, dan sebagainya.  Bukti bahwa ada satu sekolah yang (hampir) semua siswanya tidak lulus UN menunjukkan bahwa kesalahan tidak terletak pada siswa. Tidak adil kalau siswa harus menanggung akibat dari suatu kesalahan yang tidak dilakukannya.

UN sebagai kriteria mutlak kelulusan juga membuat siswa, guru, sekolah dan dinas pendidikan punya “kepentingan” yang sama, yaitu hasil UN-nya bagus.  Guru, sekolah, dan Dinas Pendidikan tidak melihat UN sebagai evaluasi bagi siswa, tetapi lebih sebagai evaluasi bagi dirinya. Kepentingan yang sama inilah yang menyebabkan terjadinya kecurangan secara sistematis dalam pelaksanaan UN.
Meskipun demikian, ide bahwa UN sebaiknya hanya digunakan sebagai bahan pemetaan kualitas pendidikan (bukan sebagai penentu kelulusan) juga tidak realistis.  Peraturan perundang-undangan jelas menyatakan bahwa UN merupakan salah satu kriteria kelulusan.

Solusi optimal yang dapat ditempuh saat ini adalah tetap melaksanakan UN dan menggunakan hasil UN sebagai salah satu kriteria kelulusan siswa yang bersifat tidak mutlak.  Dengan kata lain, penilaian dari guru/sekolah yang lebih melihat kepada proses belajar, juga menjadi kriteria yang sifatnya tidak mutlak.

Implementasinya dapat dilakukan melalui pembobotan. Misalnya, UN diberi bobot 50 persen (atau angka lain yang disepakati), sedangkan sisanya (50%) ditentukan oleh penilaian yang berasal dari sekolah/guru.  Sedangkan untuk penerimaan di jenjang sekolah yang lebih tinggi (SLTP ke SLTA, atau SLTA ke Perguruan Tinggi), kalau memang dikehendaki, dapat menggunakan nilai UN murni (tanpa pembobotan).

Nilai Bukan Segalanya

Setiap kali saya membuka topik nilai bukan segalanya, seringkali mendapat protes dari teman-teman yang sudah berkeluarga dan memiliki anak. Umumnya mereka masih menggunakan nilai sebagai salah satu faktor KPI (Key Performance Indeks) atas keberhasilan anak-anak mereka di sekolah.

Hal ini tidak salah, sepanjang kita mengerti bahwa ada banyak faktor-faktor yang mempengaruhi sukses seseorang selain daripada nilai. Apalagi umumnya sekolah selalu memberikan ranking dengan kriteria dari perolehan nilai anak didik / siswa yang bersangkutan.

Seperti yang terjadi ketika saya mengambil progam pasca sarjana di salah satu perguruan tinggi swasta yang memiliki kualifikasi setara perguruan tinggi negeri berkualitas. Kebetulan ada di sana beberapa mata kuliah yang penilaiannya tidak berdasarkan nilai, melainkan berdasarkan kepada kemampuan team work dan proses pembelajaran. Jadi nilainya hanya ada dua yakni “Lulus” dan “Tidak Lulus”.

Banyak yang agak kaget dengan sistem tanpa nilai tersebut, terlebih lagi bagi yang sudah terbiasa oleh sistem kompetisi pendidikan berdasarkan nilai. Orangtua saya saja terkejut sewaktu melihat transkrip nilai ijazah saya beberapa mata kuliahnya hanya ditulis lulus.

Namun itulah keunikannya. Seringkali kita lupa di luar nilai ada faktor-faktor lain penentu keberhasilan dan kesuksesan seseorang. Antara lain kedewasaan emosi dan sikap, kerjasama yang baik, analisa atas permasalahan, nilai-nilai budaya dan moral yang dianut dan lain sebagainya.
Justru faktor-faktor di luar nilai ini yang semestinya menjadi penekanan ketika kita mendidik anak-anak kita dan juga mengajarkan nilai kehidupan kepada bawahan ataupun karyawan kita. Bahwa nilai bukan segala-galanya, bahwa kompetisi bukan melulu bicara soal nilai dan persaingan tidak sehat, melainkan kepada kerjasama, kolaborasi dan kesetiakawanan.

Semoga kiranya kita bisa lebih bijaksana dalam mendidik dan mengajarkan nilai-nilai kehidupan.