Jumat, 17 Juni 2011

teman kawanku (iwan fals)

Kawanku punya teman
Temannya punya kawan
Mahasiswa terakhir
Fakultas dodol

Lagaknya bak profesor
Pemikir jempolan
Slintas seperti sibuk
Mencari.....bahan skripsi

Kaca mata tebal
Maklum kutu buku
Ngoceh paling jago
Banyak baca.......Kho Ping Hoo

Bercerita temanku
Tentang kawan temannya
Nyatanya skripsi beli
Oh......disana

Buat apa susah-susah
Bikin Skripsi sendiri
Sebab ijasah
bagai lampu kristal
Yang mewah
Ada diruang tamu
hiasan lambang gengsi
Tinggal membeli
Tenang sajalah

Saat wisuda datang
Dia tersenyum tenang
Tak nampak dosa
dipundaknya

Sarjana begini, banyaklah
di negeri ini
Tiada bedanya dengan roti

Menangis orang tua 
Lihat anaknya bangga
Lahirlah sudah si 
Jantung bangsa

Aku hanya terdiam
Samnbil kencing diam-diam
Dengar kisah temanku 
punya kawan

sosiologi ilmu pengetahuan berparadigma ganda

Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda “ yang ditulis oleh George Ritzer, seorang pakar sosiolog sekaligus filosof ini memiliki nilai bobot ilmiyah yang sangat baik untuk dijadikan sebagai buku pokok dan acuan mahasiswa yang mempelajari konsep sosiologi ataupun berupa pengantar. Buku yang berjudul “ Sosiology A Multiple Paradsigm Science
Paradigma Sosiologi
Gagasan Kuhn mengenai paradigma inilah yang mendorong generasi setelahnya yaitu Robert Friederich, Lodahl dan Cordon, Philips, Efrat ikut mempopulerkan istilah paradigma yang digagas oleh Kuhn. Kuhn melihat bahwa ilmu pengetahuan pada waktu tertentu didominasi oleh satu paradigma tertentu. Yakni suatu pandangan yang mendasar tentang apa yang menjadi pokok persoalan (subject matter) dari suatu cabang ilmu.
Lantas, istilah Kuhn ini menjadi suatu yang sangat tidak memiliki kejelasan hingga timbul istilah paradigma dipergunakan tak kurang dari dua puluh satu konsep paradigma yang kemudian direduksir oleh Masterman menjadi 3 bagian besar yaitu :
  1. Paradigma Metafisik
  2. Paradigma Sosiologi
  3. Paradigma Konstrak
Sehingga oleh Ritzer dapat ditarik kesimpulan bahwa sosiologi itu terdiri atas kelipatan beberapa paradigma. Dimana diantaranya terdapat pergulatan pemikiran yang terjelma dalam eksemplar, teori-teori, metode, serta perangkat yang digunakan masing-masing komunitas ilmuwan yang termasuk kedalam paradigma tertentu.

 Paradigma Fakta Sosial
Fakta sosial inilah yang menjadi pokok persoalan penyelidikan sosiologi. Fakta social dinyatakan oleh Emile Durkheim sebagai barang sesuatu (Thing) yang berbeda dengan ide. Barang sesuatu menjadi objek penyelidikan dari seluruh ilmu pengetahuan. Ia tidak dapat dipahami melalui kegiatan mental murni (spekulatif). Tetapi untuk memahaminya diperlukan penyusunan data riil diluar pemikiran manusia. Fakta sosial ini menurut Durkheim terdiri atas dua macam :
  1. Dalam bentuk material : Yaitu barang sesuatu yang dapat disimak, ditangkap, dan diobservasi. Fakta sosial inilah yang merupakan bagian dari dunia nyata contohnya arsitektur dan norma hukum.
  2. Dalam bentuk non-material : Yaitu sesuatu yang ditangkap nyata ( eksternal ). Fakta ini bersifat inter subjective yang hanya muncul dari dalam kesadaran manusia, sebagai contao egoisme, altruisme, dan opini.
Pokok persoalan yang harus menjadi pusat perhatian penyelidikan sosiologi menurut paradigma ini adalah fakta-fakta sosial. Secara garis besar fakta sosial terdiri atas dua tipe, masing-masing adalah struktur sosial dan pranata sosial. Secara lebih terperinci fakta sosial itu terdiri atas : kelompok, kesatuan masyarakat tertentu, system sosial, peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan dan sebagainya. Menurut Peter Blau ada dua tipe dasar dari fakta sosial :
    1. Nilai-nilai umum ( common values )
    2. Norma yang terwujud dalam kebudayaan atau dalam subkultur.
Ada empat varian teori yang tergabung ke dalam paradigma fakta sosial ini. Masing-masing adalah :
1. Teori Fungsionalisme-Struktural, yaitu teori yang menekankan kepada keteraturan (order) dan mengabaikan konflik dan perubahan-perubahan dalam masyarakat. Konsep-konsep utamanya adalah : fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifestasi, dan keseimbangan.
2. Teori Konflik, yaitu teori yang menentang teori sebelumnya (fungsionalisme-struktural) dimana masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus menerus diantar unsure-unsurnya.
3. Teori Sistem, dan
4. Teori Sosiologi Makro
Dalam melakukan pendekatan terhadap pengamatan fakta sosial ini dapat dilakukan dengan berbagai metode yang banyak untuk ditempuh, baik interviu maupun kuisioner yang terbagi lagi menjadi berbagai cabang dan metode-metode yang semakin berkembang. Kedua metode itulah yang hingga kini masih tetap dipertahankan oleh penganut paradigma fakta sosial sekalipun masih adanya terdapat kelemahan didalam kedua metode tersebut.

Paradigma Definisi Sosial
Paradigma pada definisi ini mengacu pada apa yang ditegskan oleh Weber sebagai tindakan sosial antar hubungan social. Inti tesisnya adalah “ tindakan yang penuh arti “ dari individu. Yang dimaksudkannya adalah sepanjang tindakannya itu mempunyai makna atau arti subyektif bagi dirinya dan diarahkan kepada tindakan orang lain. Ada tiga teori yang termasuk kedalam paradigma definisi sosial ini. Masing-masing : Teori Aksi (action theory), Interaksionisme Simbolik (Simbolik Interactionism), dan Fenomenologi (Phenomenology).
Ketiga teori diatas mempunyai kesamaan ide dasarnya bahwa menurut pandangannya : manusia adalah merupakan aktor yang kreatif dari realitas sosialnya. Selain itu dalam ketiga pembahasan ini pula mempunyai cukup banyak kebebasan untuk bertindak diluar batas kontrol dari fakta sosial itu. Sesuatu yang terjadi didalam pemikiran manusia antara setiap stimulus dan respon yang dipancarkan, menurut ketiga teori ini adalah merupakan hasil tindakan kreatif manusia. Dan hal inilah yang menjadi sasaran perhatian paradigma definisi sosial. Sehingga secara umum dapat dikatakan bahwa penganut ketiga teori yang termasuk kedalam paradigma definisi sosial ini membolehkan sosiolog untuk memandang manusia sebagai pencipta yang relatif bebas didalam dunia sosialnya.
Disini pula terletak perbedaan yang sebenarnya antara paradigma definisi sosial ini dengan paradigma fakta sosial. Paradigma fakta sosial memandang bahwa perilaku manusia dikontrol oleh berbagai norma, nilai-nilai serta sekian alat pengendalian sosial lainnya. Sedangkan perbedaannya dengan paradigma perilaku sosial adalah bahwa yang terakhir ini melihat tingkahlaku mansuia sebagai senantiasa dikendalikan oleh kemungkinan penggunaan kekuatan (re-enforcement).

Paradigma Perilaku Sosial
Seperti yang dipaparkan pembahasan sebelumnya, bahwa paradigma ini memiliki perbedaan yang cukup prinsipil dengan paradigma fakta sosial yang cenderung perilaku manusia dikontrol oleh norma. Secara singkat pokok persoalan sosiologi menurut paradigma ini adalah tingkahlaku individu yang brelangsung dalam hubungannya dengan faktor lingkungan yang menghasilkan akibat-akibat atau perubahan dalam faktor lingkungan menimbulkan yang berpengaruh terhadap perubahan tingkahlaku. Jadi terdapat hubungan fungsional antara tingkahlaku dengan perubahan yang terjadi dalam lingkungan aktor.
Penganut paradigma ini mengaku memusatkan perhatian kepada proses interaksi. Bagi paradigma ini individu kurang sekali memiliki kebebasan. Tanggapan yang diberikannya ditentukan oleh sifat dasar stimulus yang dating dari luar dirinya. Jadi tingkahlaku manusia lebih bersifat mekanik dibandingkan dengan menurut pandangan paradigma definisi sosial.
Ada dua teori yang termasuk kedalam paradigma perilaku sosial.
  1. Behavioral Sociology Theory, teori ini memusatkan perhatiannya pada hubungan antara akibat dari tingkahlaku yang terjadi di dalam lingkungan aktor dengan tingkahlaku aktor, khususnya yang dialami sekarang oleh si aktor.
  2. Exchange Theory, teori ini dibangun dengan maksud sebagai rekasi terhadap paradigma fakta sosial, terutama menyerang ide Durkheim secara langsung dari tiga jurusan :
· Pandangannya tentang emergence
· Pandangannya tentang psikologi
· Metode penjelasan dari Durkheim
Paradigma perilaku sosial ini dalam penerapan metodenya dapat pula menggunakan dengan dua metode sebelumnya yaitu kuisioner, interview, dan observasi. Namun demikian, paradigma ini lebih banyak menggunakan metode eksperimen dalam penelitiannya. 
Perbedaan Antar Paradigma (Suatu Penilaian)
Melalui penjelasan-penjelasan singkat diketiga diatas, maka tugas ini adalah mencari perbedaan-perbedaan yang terjadi diketiga paradigma diatas. diantaranya adalah sebagai berikut :
  1. Behaviorisme selain disukai banyak sosiolog juga merupakan perspektif utama sosiologi kontemporer. Sebagian besar analisa sosiologi mengabaikan arti penting behaviorisme.
  2. Konsepsi umum yang memisahkan antara teori fungsionalisme struktural dan teori konflik adalah menyesatkan. Kedua teori itu lebih banyak unsur persamaannya ketimbang perbedaannya, karena keduanya tercakup dalam satu paradigma. Perbedaan fundamental dalam sosiologi terdapat diantara ketiga paradigma yang telah dibicarakan.
  3. Implikasi lain ialah adanya hubungan antara teori dan metode yang selalu dikira dipraktekkan secara terpisah satu sama lain. Umumnya terdapat keselarasan antara teori dan metode.
  4. Ada irrasionalitas dalam sosiologi. Kebanyakan sosiolog yang terlibat dalam pekerjaan teoritis dan metodologis tidak memahami kaitan erat antara keduanya. Teoritisi yang mengira bahwa mereka beroposisi sama sekali antara yang satu dengan yang lain (antara teori konflik dan fungsionalisme struktural), nyatanya berkaitan satu sama lain. Terlihat bahwa peneliti sering memakai metode yang tak cocok untuk mencapai yujuan penelitian mereka.
  5. Terakhir dan terpenting, pertentangan antar paradigma sosiologi sangat bersifat politis. Tiap paradigma bersaing disetiap bidang sosiologi. Kebanyakan upaya dicurahkan semata-mata untuk menyerang lawan dari paradigma lain dengan berondongan kata-kata yang berlebih-lebihan. Seharusnya kita mencurahkan waktu sesedikit mungkin untuk menyerang lawan dan sebanyak-banyaknya untuk memahami pendapat mereka. Kita sudah semestinya mulai memahami bagaimana caranya memanfaatkan pemikiran paradigma lain guna mengembangkan perspektif yang lebih menyatu.
Sosiologi adalah ilmu pengetahuan berparadigma banyak, mengapa dikatakan demikian ? hal ini dikarenakan, antara paradigma yang satu dengan paradigma yang lain terdapat perbedaan bahkan pertentangan pandangan tentang disiplin sosiologi sebagai suatu kebulatan dan tentang batas-batas bidang paradigma itu masing-masing. Dalam bidang ilmu ini terdapat bebrapa paradigma yang memaparkan dan menjelaskan cabang-cabang paradigmanya dan spsesifikasi bidangnya masing-masing. Setidaknya terdapat 3 paradigma yang mendasari ilmu sosiologi ini diantaranya :
1. Paradigma Fakta Sosial, yang dibagi lagi menjadi dua objek kajian :
a. struktur sosial, dan
b. pranata sosial
2. Paradigma Definisi Sosial, yang terbagi menjadi tiga teori diantaranya :
a. Teori Aksi (action theory),
b. Interaksionisme Simbolik (Simbolik Interactionism), dan
c. Fenomenologi (Phenomenology).
3. Paradigma Perilaku Sosial, terbagi menjadi dua teori diantaranya :
a. Behavioral Sociology Theory
b. Exchange Theory 

wajah ganda pembocoran rahasia

Julian Assange, sang pendiri situs WikiLeaks, mampu  menghirup udara bebas. Hal  ini dapat terjadi karena pengacaranya  memberikan uang jaminan  sebesar 240.000 poundsterling  (Rp3,3 miliar) kepada otoritas hukum di Inggris. Namun, kebebasan Assange bersifat sementara dan  semu belaka.

Assange harus memakai gelang monitor elektrik dan dikenai jam malam. Artinya ialah  Assange tetap dalam pengawasan  yang sangat ketat. Ke mana pun  Assange pergi pasti gampang dideteksi. Bahkan, muncul rumor  bahwa Amerika Serikat (AS) menyiapkan  dakwaan mata-mata kepada  dirinya. Pihak yang paling dirugikan oleh aktivitas pembocoran rahasia  yang dilakukan Assange tentu saja  adalah AS. Perang di Irak dan  Afghanistan serta korupsi korporasi  yang melibatkan pejabat  dan pengusaha dari negara adidaya  itu berhasil dibongkar Assange. Semua itu menjadikan para elite  politik AS marah. Tapi, Assange  berdalih bahwa masyarakat demokratis  memerlukan media yang  kuat. Media membantu dalam  menjaga pemerintah untuk berperilaku jujur. WikiLeaks, tegas  Assange, adalah bagian dari media  itu.
Argumentasi Assange benar meskipun harus dilihat secara lebih kritis. Mengapa? Apa yang dibocorkan  Assange adalah informasi.  Makna informasi bukan sekadar  fakta atau data. Informasi, sebagaimana  diuraikan oleh M Burgin (The  Essence of Information: Paradoxes,  Contradictions, and Solutions, 2005), pada abad ke-15 memiliki  makna etimologis informare (bahasa  Latin) yang berarti “memberikan  bentuk”, “membentuk”, dan  “memformulasikan”. Selama zaman  Renaissance, kata “menginformasikan”  memiliki padanan dengan  pengertian “menginstruksikan”. Dari pemahaman ini, informasi  dapat dimaknai sebagai pengetahuan  karena yang dibentuk  dalam proses itu adalah apa yang  diketahui untuk kemudian dijadikan  instruksi. Secara sosiologis, terdapat jalinan  yang sangat erat antara pengetahuan dan kekuasaan. Pengetahuan adalah kekuasaan, dan kekuasaan adalah pengetahuan.
Siapa yang mengetahui akan bisa  menguasai. Sebaliknya, siapa yang tidak bisa mengetahui secara otomatis  akan dikuasai. Dalam peperangan, misalnya, pihak yang mengetahui  mempunyai kemungkinan  besar untuk memenangkan pertarungan. Sedangkan dalam dunia bisnis, pihak yang mengetahui memiliki peluang luas untuk mengontrol pasar dan mengeksploitasi sumber daya (manusia maupun  alam). Pada titik inilah Assange berada dalam konflik keras antara  mengungkap dan menyembunyikan pengetahuan.
Ambivalensi
Dalam situasi tegangan antara menutup dan membuka informasi itulah, sosok Assange dan proyek  WikiLeaks-nya memiliki ambivalensi. Kebaikan dan keburukan muncul sekaligus dalam aksinya  membocorkan ribuan rahasia. Bagi para pendukung dan pemuja Assange, pembocoran rahasia merupakan  tindakan penuh kepahlawanan.  Assange dihadiahi berbagai  sanjungan. Assange dianggap  sebagai figur yang berani menelanjangi  berbagai manipulasi  yang dijalankan pihak yang berkuasa.
Peperangan dan perdagangan yang selalu dipropagandakan untuk kebaikan umat manusia tidak  lebih adalah aksi destruktif  yang justru merontokkan kemanusiaan itu sendiri. Tidak demikian halnya dengan pihak yang menentang Assange. Warga negara Australia ini dipandang sebagai figur yang menebarkan kerugian dan kehancuran saja. Sebabnya adalah—meminjam  konsep dari Erving Goffman (1922-1982)—masyarakat rahasia yang sejauh ini bisa tampil sempurna  dan amat meyakinkan dalam memainkan  drama peperangan dan  bisnis di hadapan massa tidak lebih  adalah para pemain yang menciptakan  konspirasi tingkat tinggi.
Sebagai  sebuah contoh, negara-negara  Arab yang selama ini digambarkan bertikai dengan Israel (Yahudi)  ternyata bersatu padu mendukung  AS dalam menekan Iran.  Semua persekongkolan itulah yang  dibongkar Assange. “Masyarakat rahasia” yang melibatkan berbagai elite negara itu pun dibuat  kelabakan oleh Assange. Tidak  heran jika Assange selalu diintai  dan akan dibunuh.  Jadi, apakah yang ijalankan  Assange dan proyek pembocoran  rahasia itu baik atau buruk? Tentu  saja, tergantung siapa yang mendapatkan  keuntungan dari aksiaksi  pembocoran rahasia itu. Baik  dan buruk dalam pembongkaran  informasi ini seringkali tidak lagi  memperhatikan moralitas. Dianggap  baik jika bisa memberikan kekuatan  dan kekuasaan yang lebih  besar.
Dinilai buruk jika justru merontokkan  kekuatan dan kekuasaan  yang berada dalam genggaman.  Bagi rezim berkuasa,seperti pemerintah  dan berbagai korporasi AS,  apa yang dilakukan Assange sangatlah  buruk dan biadab.Sebaliknya,  bagi pihak yang selama ini dibohongi  dan dicekoki manipulasi, perbuatan Assange terpuji dan  beradab. Tapi, bagaimana jika informasi rahasia itu dimanfaatkan  para teroris? Tidakkah juga berbahaya? Itulah wajah ganda dari pembocoran rahasia. Dengan begitu, tepat apa yang  dikemukakan Mario Vargas Llosa, sang pemenang Hadiah Nobel di bidang kesusastraan tahun 2010.
Sastrawan dari Peru itu menyatakan, pembocoran rahasia yang dilakukan WikiLeaks memang mendorong keterbukaan, tapi jika transparansi itu berlebihan juga membahayakan. “Opini saya tentang  WikiLeaks kontradiktoris,”  kata Llosa. Pada satu sisi, transparansi itu sangat luar biasa karena semuanya dibawa ke dalam terang cahaya. Hal inilah yang melindungi kita dari intrik, penipuan, dan kebohongan. Pada sisi lainnya, jika semuanya dibawa ke dalam terang  cahaya, seluruh kerahasiaan dan  privasi menghilang. Negara tidak  berfungsi lagi karena negara dalam  posisi yang rentan. Esensi demokrasi berada dalam bahaya  (“WikiLeaks ‘Dangerous’ and ‘Wonderful’,  The Swedish Wire, 6 Desember  2010).
Sosok Janus
Hal yang bisa ditegaskan dalam problem pembocoran rahasia tersebut adalah Assange (dan Wiki Leaks) serupa dengan sosok Janus. Dalam mitologi Roma, seperti diuraikan situs Wikipedia, Janus merupakan  Dewa Gerbang, pintu,  jalan menuju pintu, awal, akhir, dan waktu. Nama Janus dikaitkan  dengan bulan Januari, yang mengawali tahun baru. Janus seringkali digambarkan mempunyai dua kepala, menghadap dalam arah yang berlawanan. Kepalanya yang menghadap ke belakang menatap tahun yang lama. Kepalanya yang menghadap ke depan menatap tahun yang baru. Janus adalah dewa  yang menyimbolkan keberadaan masa lalu dan masa depan dalam keserentakan.  Sebagai sosok Janus, Assange (dan WikiLeaks) memiliki dua jenis kepala yang saling bertentangan.
Kepala yang satu menghadap ke belakang hendak menyatakan bahwa negara tidak boleh sewenang-  wenang dalam menerapkan rezim kerahasiaan. Masa silam  yang penuh kebohongan dan manipulasi  itu hendaknya ditinggalkan oleh birokrasi negara maupun  korporasi swasta. Memang benar bahwa negara mempunyai otoritas untuk menerapkan kerahasiaan. Tapi, kewenangan itu hendaknya  digunakan sebaik mungkin dan bukan untuk menghadirkan persekongkolan kejahatan. Kepala yang satu lagi menghadap ke depan yang secara antusias menyatakan bahwa bukan hanya negara dan  korporasi yang bisa mengawasi  warga. Pihak warga pun memiliki kemampuan untuk mengawasi  setiap penipuan serta konspirasi negara dan korporasi.
Max Weber (1864-1920) pernah menyatakan negara adalah kekuasaan yang memiliki otoritas memonopoli kekerasan terhadap warganya dalam wilayah tertentu. Jika dikaitkan dengan informasi, perspektif Weberian itu merujuk pada pernyataan bahwa negara adalah lembaga yang boleh memonopoli kebenaran informasi dalam cakupan geografis tertentu. Tapi, pada  era informasi yang semakin terbuka, monopoli kebenaran itu tidak mungkin bisa digenggam lagi.  Internet mampu menjangkau dan mengatasi batas-batas negara. Kehadiran  Assange (dan WikiLeaks)  adalah perlawanan terhadap keangkuhan  negara dan korporasi  yang secara kontinu mengelabui  warga dengan teknik-teknik manipulasi  dan penyesatan informasi.
Informasi,sebagaimana diuraikan  Zoubin Ghahramani (Information  Theory, Encyclopedia of Cognitive  Science, 2000), adalah pengurangan  ketidakpastian. Pada  teori informasi dikemukakan bahwa  kuantitas paling fundamental  dalam lingkup ini adalah entropy  (tingkat ketidakberaturan dalam  sebuah sistem).Informasi berfungsi  sebagai reduksi terhadap entropy  itu. Jika penjelasan ini dikaitkan  dengan Assange (dan WikiLeaks),  terlihat bahwa mayoritas warga  selama ini disuguhi aneka entropy  yang justru diciptakan negara dan  korporasi. Entropy itu hadir sebagai  tatanan mapan yang secara  ironis penuh tipuan.
Wajah ganda  dari penyingkapan suatu tipuan  adalah merugikan si penipu dan  menguntungkan si tertipu.Ketika  tipuan berhasil dibongkar, haruskah  para penipu marah? Jadi, jangan  memain-mainkan kerahasiaan.  Suatu ketika pasti bocor juga  kebusukannya.

sosiologi organisasi

organisasi merupakan salah satu fenomena sosial yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia. Oleh karena itu, manusia tidak bisa menolak kehadiran organisasi dalam kehidupannya. Dilihat dari aspek material sosiologi, yaitu masyarakat dan dari aspek formal sosiologi, yaitu interaksi antarmanusia serta proses dan akibat yang timbul dari interaksi itu, ternyata masih saja ada kekaburan dan kerancuan dari pengertian dan lingkup sosiologi organisasi.
Metode yang digunakan dalam studi sosiologi organisasi ditentukan oleh tujuan penelitian yang dirancang berdasar pada karakteristik data yang dikumpulkan dan juga dipengaruhi atas dasar suatu pandangan filsafat tertentu.
Oleh karena itu, sosiologi sering kali dinyatakan sebagai ilmu yang berparadigma ganda yang hal ini disebabkan oleh:
1. perbedaan pandangan filosofi dari para ahli sosiologi;
2. perbedaan teori yang dibangun atas dasar pandangan filosofi tadi;
akibatnya metodenya pun berbeda.


Konsep-konsep Dasar dalam Sosiologi Organisasi

Ada 3 penekanan yang dikembangkan oleh para ahli mengenai definisi organisasi, yaitu menekankan pada:
1. kumpulan orang;
2. proses pembagian kerja;
3. sistem kerja lama, sistem hubungan atau sistem sosial.

Elemen-elemen organisasi mencakup hal-hal berikut ini.
1. struktur sosial;
2. anggota;
3. teknologi;
4. tujuan.

Struktur sosial mengacu pada struktur normatif dan perilaku dengan anggota mengacu pada hubungan timbal balik antaranggota di dalam organisasi. Elemen tujuan didefinisikan sebagai upaya anggota organisasi dalam mencapai tujuan, dan elemen teknologi mengacu pada organisasi sebagai suatu tempat, di mana terjadi proses peralihan dari masukan (input) menjadi keluaran (output), sedangkan prinsip dasar organisasi terbagi menjadi 2, yaitu:
1. tujuan organisasi;
2. koordinasi yang terpilah lagi menjadi spesialisasi, kesatuan dalam perintah, kesatuan dalam penggunaan, wewenang dan tanggung jawab, pendelegasian, cakupan pengawasan, rantai perintah, dan keseimbangan.


Batasan Pengertian Kelompok Sosial dan Organisasi Sosial

Beberapa karakteristik dari kelompok sosial, yaitu nilai-nilai kelompok, norma-norma kelompok, peran dan posisi, serta status dan ikatan kelompok, sedangkan tipe-tipe kelompok sosial mencakup in-group dan out-group, kelompok primer dan kelompok sekunder, serta kelompok formal dan kelompok informal. Pada kelompok informal terdapat juga beberapa bentuk ikatan, antara lain kelompok persahabatan atau persaudaraan, dan klik. Klik ini juga terdiri dari klik vertikal, klik horizontal, klik campuran, serta subklik.


Dinamika Kelompok dalam Organisasi
 Dinamika kelompok umumnya mengacu kepada kerja sama, persaingan, dan konflik yang terjadi antaranggota kelompok maupun antarkelompok. Hal ini pada dasarnya mempengaruhi keanggotaan kelompok, di mana faktor-faktor dukungan individual, sikap anggota kelompok, kepuasan kerja, sikap tolong-menolong, ketegangan dan kegelisahan, serta perkembangan individual ikut andil di dalamnya. antarkelompok merupakan sumber konflik yang selalu terjadi di dalam setiap organisasi. Penyebabnya, antara lain karena perebutan sumber daya, perbedaan status, dan perbedaan persepsi


Dasar Tipologi Organisasi  

Kesamaan karakteristik mengenai fenomena organisasi biasanya selalu dijadikan dasar dalam menentukan tipologi atau klasifikasi fenomena organisasi. Tipologi atau klasifikasi tersebut mencakup, antara lain organisasi yang bergerak berdasarkan keuntungan, sistem wewenang, tanggapan anggota, keterlibatan emosi anggota, tujuannya, kebutuhan sosial, pembagian biaya dan nilai, luas wilayah, pucuk pimpinan, dan saluran wewenang.


Organisasi Formal dan Organisasi Informal

Di dalam organisasi formal terdapat organisasi informal. Berkembangnya organisasi informal ini karena struktur formal tidak dapat memberikan pemenuhan kebutuhan para anggotanya dan juga kebutuhan organisasi (formal) itu sendiri. Keduanya yaitu organisasi formal dan organisasi informal memiliki persamaan dan perbedaan dalam hal tujuannya, mekanisme kontrol, karakteristik dan sebagainya.
Di dalam organisasi formal, birokrasi merupakan salah satu bentuk yang sering kali memiliki konotasi negatif hanya karena ketidaktahuan konsep awal birokrasi oleh masyarakat. Weber, seorang sosiolog Jerman, melihat birokrasi yang ideal itu memiliki beberapa sifat, yaitu:
1. adanya pembagian kerja;
2. hierarki otoritas;
3. sistem pemeliharaan dokumen tertulis dan formal;
4. pengaturan, tata cara dan aturan;
5. tenaga ahli terlatih;
6. hubungan yang impersonal.

Weber sendiri secara historis, mengatakan bahwa tumbuhnya organisasi birokrasi di Eropa ditandai dengan revolusi industri di Eropa. Untuk ini Blau sepakat dan menyatakan bahwa latar belakang tumbuhnya birokrasi di Eropa pada waktu itu ditandai oleh 4 faktor sebagai berikut.
1. Berkembangnya ekonomi uang.
2. Munculnya sistem kapitalisme.
3. Kuatnya etika Protestan.
4. Besarnya ukuran organisasi.

Teori-teori Organisasi

Menurut teori organisasi klasik, rasionalitas, efisiensi, dan keuntungan ekonomis merupakan tujuan organisasi. Teori ini juga menyatakan bahwa manusia itu diasumsikan bertindak rasional sehingga secara rasional dengan menaikkan upah, produktivitas akan meningkat.
Max Weber dengan konsep birokrasi idealnya menekankan pada konsep otoritas dan kekuasaan yang sah untuk melakukan kontrol kepada pihak lain yang berada di bawahnya sehingga organisasi akan terhindar dari penyalahgunaan kekuasaan dan ketidakefisienan.
Frederick Taylor mengajukan konsep "manajemen ilmiah" yang inti gagasannya adalah "bagaimana cara terbaik untuk melakukan pekerjaan". Untuk ini Taylor membuat standardisasi mulai dari seleksi (rekruitmen), penempatan, yang menurutnya merupakan sistem hubungan kerja antara manusia dengan mesin sehingga dengan semua itu, pekerjaan dapat dianalisis secara ilmiah.
Henry Fayol mengembangkan teori yang memusatkan perhatiannya pada pemecahan masalah-masalah fungsional kegiatan administrasi. Fayol mengajukan konsep Planning, organizing, command, coordination, dan control yang menjadi landasan bagi fungsi dasar manajemen. Fayol juga mengemukakan empat belas prinsip yang sangat fleksibel yang digunakan sebagai dasar bagi manajer dalam mengelola organisasi. Keempat belas prinsip itu adalah pembagian kerja, wewenang dan tanggung jawab, disiplin, kesatuan perintah, kesatuan arah, mengutamakan kepentingan umum, pemberian upah, sentralisasi, rantai perintah, ketertiban, keadilan, kestabilan masa kerja, inisiatif, dan semangat korps. Gagasan Fayol sendiri didukung oleh koleganya di AS yaitu Gulick, Urwick, Mooney dan Reiley.
Meskipun mendapat banyak kritik yang menganggap bahwa teori-teori klasik itu telah mengabaikan faktor humanistik, deterministik, dan tertutup, tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa teori klasik merupakan peletak dasar dari teori-teori administrasi modern.


Dinamika Kelompok dalam Organisasi

Teori neoklasik dan modern muncul sebagai reaksi atas konsep-konsep yang dikemukakan oleh para ahli teori klasik meskipun tidak sepenuhnya mengabaikan prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh teori klasik.
Pendekatan yang dilakukan oleh ahli teori neoklasik dan modern ini adalah pendekatan perilaku atau bahavioral approach (human relation approach). Pendekatan ini dilakukan dengan mengadakan eksperimen yang dikenal dengan Hawthorne Experiment yang secara garis besar dibagi dalam 4 tahap. Pertama mengkaji efek lingkungan dari produktivitas pekerja. Kedua, melakukan konsultasi dengan pekerja yang ikut eksperimen. Ketiga, melakukan wawancara dengan pekerja (yang tidak ikut eksperimen) melalui pertanyaan terbuka. Tahap keempat, adalah eksperimen yang dikenal dengan bank - wiring - room experiment.
Hasil eksperimen tersebut adalah (1) sistem sosial para pekerja ikut berperan dalam organisasi formal, (2) imbalan nonfinansial dan sanksi berperan dalam mengarahkan perilaku pegawai, (3) kelompok ikut berperan dalam menentukan kinerja dan sikap anggota kelompok, (4) munculnya pola kepemimpinan informal, (5) komunikasi yang makin intensif, (6) kepuasan dan kenyamanan bekerja meningkat, (7) pihak manajemen dituntut untuk lebih memahami situasi sosial.
 Experiment Hawthorne menjadi pemicu munculnya beberapa pemikiran baru (yang masih dalam kerangka humanistik) dari Follets dan Barnard termasuk McGregor dengan teori X dan Y-nya. Termasuk munculnya teori sistem yang melihat organisasi sebagai suatu sistem yang memiliki (1) subsistem teknis, (2) subsistem sosial, (3) subsistem kekuasaan. Kemudian, juga munculnya teori kontingensi yang dibangun atas dasar prinsip-prinsip yang telah dikembangkan oleh pendekatan sistem. Teori kontingensi ini pada prinsipnya melihat bahwa organisasi harus berlandaskan pada sistem yang terbuka (open system concept).

Struktur Organisasi dan Perbedaan Wewenang

Struktur di dalam suatu organisasi menjadi sangat penting manakala struktur tersebut berfungsi sebagai alat dalam mencapai tujuan organisasi. Secara formal, suatu struktur mempunyai ciri, antara lain memiliki pola yang mapan, memiliki bagian-bagian, ada koordinasi atau hubungan hierarkis dan memiliki pedoman bagi kebijakan, prosedur, ukuran dan sistem evaluasi.
Ada 3 fungsi dari struktur organisasi, yaitu harus menghasilkan keluaran, meminimalkan pengaruh tingkat individu, dan merupakan kerangka dalam penggunaan kekuasaan. Komponen utama dari struktur organisasi, yaitu hierarki, di mana perluasan secara vertikal dan horizontal dapat terjadi di sini, dan kesatuan rantai perintah di mana kesatuan dalam penugasan dapat dilakukan.
Wewenang dan pembagian wewenang di dalam organisasi mengacu kepada pemberian wewenang pada seseorang dalam posisi tertentu di dalam organisasi.

Kegiatan Belajar 2 :
Faktor-faktor yang Berkaitan dengan Struktur Organisasi

Ada 3 faktor yang berkaitan erat dengan struktur organisasi yaitu kompleksitas, formalisasi dan sentralisasi. Kompleksitas sendiri terdiri dari 3 bagian, yaitu diferensiasi horizontal, diferensiasi vertikal, dan sebaran secara spasial.
Sedangkan sentralisasi memiliki 4 kemungkinan sehubungan dengan pengembalian keputusan, antara lain pengambilan keputusan yang sangat sentralisasi, sentralisasi, desentralisasi, dan sangat desentralisasi.

Batasan Pengertian Lingkungan Organisasi

Hubungan secara sosiologi dapat berarti segala sesuatu yang mendorong dan mempengaruhi tingkah laku individu maupun kelompok. Setiap organisasi pasti akan selalu berhubungan dengan lingkungan, baik itu lingkungan fisik maupun nonfisik. Hubungan keduanya bersifat resiprokal, yaitu berupa hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi. Dalam hal ini, Scott (1991) menggambarkan 4 tingkatan lingkungan yang meliputi
1. tingkat perangkat organisasi;
2. populasi organisasi;
3. wilayah organisasi;
4. organisasi fungsional.


Dimensi-dimensi Lingkungan Organisasi

Ada 2 dimensi lingkungan, di mana organisasi itu berada, yaitu pertama dimensi lingkungan yang dipandang sebagai karakteristik dasar lingkungan organisasi, dan dikenal sebagai kondisi umum lingkungan organisasi. Kedua, dimensi lingkungan yang secara langsung berpengaruh terhadap perkembangan organisasi dan dikenal dengan kondisi khusus lingkungan organisasi.
Kondisi umum lingkungan menggambarkan dimensi lingkungan yang melatarbelakangi perkembangan organisasi. Misalnya, kemampuan baca tulis, tingkat pendidikan masyarakat, tingkat urbanisasi, dan sistem ekonomi, sedangkan kondisi khusus lingkungan berkaitan erat dengan perkembangan organisasi. Ini mencakup, antara lain kondisi teknologi, sistem hukum, kondisi politik, kondisi ekonomi, kondisi demografis, kondisi ekologis dan kondisi budaya.


Pengaruh Lingkungan terhadap Organisasi

Di kalangan ahli sosiologi ada perbedaan pendapat mengenai cara memandang lingkungan organisasi, di satu sisi lingkungan organisasi adalah sesuatu yang nyata ada di luar suatu jadi bersifat objektif. Di sisi lain, lingkungan organisasi adalah bagaimana anggota organisasi itu memandang keberadaannya, jadi sifatnya subjektif. Tetapi keduanya mempunyai kesamaan bahwa lingkungan organisasi adalah sesuatu yang sifatnya eksternal, berada di luar organisasi, mempunyai hubungan dan berpengaruh secara timbal balik terhadap organisasi.
Dalam suatu lingkungan yang hanya memiliki sedikit sumber alam biasanya satu organisasi akan bersifat efisien. Bisa saja suatu organisasi tinggal di tempat yang sumber alamnya langka, tetapi organisasi itu memindahkan kegiatan usahanya ke tempat lain yang hanya akan sumber alam dengan konsekuensi biaya menjadi tinggi atau tetap tinggal di tempat itu, tetapi dengan penyesuaian kinerjanya terhadap lingkungan secara lebih efisien meskipun kegiatannya sulit berkembang.
Hubungan anara organisasi dengan lingkungan dijelaskan pula melalui tingkat penempatan lingkungan, konsep ini mengacu kepada persamaan dan/atau perbedaan yang terdapat dalam lingkungan tertentu. Pada lingkungan yang sifatnya homogen, organisasi akan mengembangkan pola yang sederhana.
Sebaliknya pada lingkungan yang sifatnya heterogen, pola pengembangan organisasi menjadi kompleks.
Setiap organisasi memiliki tingkat ketahanan yang berbeda-beda atas tekanan dari luar, dan ini tergantung pada kondisi keuangan, organisasi itu. Tekanan dapat berupa tekanan politis maupun ekonomis. Untuk ini organisasi akan menyesuaikan diri dengan cara mengadaptasikan diri.


Pengambilan Keputusan Dalam Organisasi

Mengambil keputusan, artinya memilih satu dari beberapa alternatif yang ada di dalam organisasi, mengambil suatu keputusan selalu dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai oleh organisasi itu. Kekurangan di dalam mengambil keputusan selalu ada risiko karena keterbatasan dari alternatif-alternatif yang ada tadi, tetapi dengan melakukan, misalnya analisis marginal, analisis efektivitas biaya, serta dengan melakukan beberapa pendekatan, antara lain pendekatan pengalaman, pendekatan uji coba (eksperimen), dan pendekatan analisis hasil penelitian maka risiko yang dihadapi dapat ditekan seminimal mungkin.
Beberapa tipe keputusan seperti keputusan pribadi dan keputusan organisasi, keputusan rutin dan keputusan tidak rutin, serta keputusan perorangan dan keputusan kelompok, dalam proses pengambilan keputusannya harus selalu dilaksanakan pada 2 hal penting, yaitu kepercayaan (belief), dan nilai (value).


Tahap-tahap Proses Pengambilan Keputusan

Dalam mengambil keputusan, Herbert A Simon (1960) mengemukakan 3 tahapan yang harus dilalui yaitu Intelligence activity, Design activity, dan Choice activity, sedangkan Newman (1981) mengemukakan 4 tahapan, yaitu mendiagnosis masalah, mencari alternatif pemecahan, menganalisis dan membandingkan alternatif yang ada, dan memilih rencana yang akan dilaksanakan. Elbing (1970) menetapkan 5 langkah, yaitu melihat ketidakseimbangan masalah melakukan diagnosis, menganalisis masalah, menyusun strategi pemecahan, implementasi, dan dengan memberikan umpan balik.
Proses pengambilan keputusan juga menjadi perhatian dari teori klasik, dari aliran behaviorisme, dan teori konflik dengan segala konsekuensinya.


MODUL 8 : KEPEMIMPINAN DALAM ORGANISASI

Batasan Pengertian Kepemimpinan dalam Organisasi
Kepemimpinan pada hakikatnya melihat kualitas seorang pimpinan dalam mengelola organisasi secara efektif. Skarma (1982) mengemukakan tiga pendekatan dalam studi kepemimpinan, yaitu pendekatan ciri bawaan, pendekatan tingkah laku pimpinan, dan pendekatan situasi kepemimpinan. Kepemimpinan juga memiliki beberapa komponen, yaitu komponen-komponen ciri bawaan dan keahlian pimpinan, perilaku pemimpin, kekuasaan pimpinan, variabel situasional yang bersifat eksternal, variabel antara, dan variabel hasil akhir (Yulk, 1991)


Kekuasaan, Otoritas dan Efektivitas Kepemimpinan

French dan Raven menyatakan bahwa seseorang memiliki kekuasaan, antara lain karena legitimasi, ganjaran, paksaan, keahlian, dan juga pengakuan, sedangkan kekuasaan sendiri memiliki tiga macam bentuk, yaitu kekuatan, dominasi, dan manipulasi. Di samping itu, ada beberapa sumber kekuasaan di dalam organisasi, yaitu posisi struktural, karakteristik personal, keahlian, dan campuran.
Tetapi menurut Max Weber unsur otoritas (kewenangan) juga perlu diperhatikan otoritas berkaitan dengan penerimaan kekuasaan dan dengan proses pengambilan keputusan, sedangkan kekuasaan berkaitan dengan kekuatan atau paksaan. Jadi, keduanya berbeda. Adapun kriteria otoritas adalah:
1. menaati secara sukarela suatu perintah yang sah;
2. menggantungkan keputusan pada perintah dari pihak yang lebih tinggi;
3. menunjukkan bahwa penggunaan kontrol adalah sah.

 Weber sendiri membagi tiga tipe otoritas, yaitu otoritas tradisional, otoritas kharismatik, dan otoritas legal. Sehubungan dengan efektivitas kepemimpinan di dalam organisasi, Zelzinck (1991) mengemukakan empat fungsi kepemimpinan yaitu kepemimpinan yang mengacu kepada peran dan misi organisasi, yang mewujudkan tujuan organisasi, yang mempertahankan organisasi, dan yang berfungsi menata dan meredakan berbagai konflik.


Pengertian Perubahan Organisasi

Perubahan suatu organisasi baik yang direncanakan dan yang tidak direncanakan pada dasarnya dilakukan demi "mempertahankan hidup" organisasi yang bersangkutan. Perubahan yang terjadi tentunya dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan eksternal.
Dampaknya pun bersifat internal dan eksternal. Suatu perubahan memiliki tingkatan, antara lain perubahan pada tingkat organisasi secara keseluruhan. Tipologi perubahan organisasi juga mengenal 4 bentuk, yaitu perubahan internal yang direncanakan, perubahan eksternal yang direncanakan, perubahan internal yang tidak direncanakan, perubahan eksternal yang tidak direncanakan. Akhirnya, kondisi lingkungan seperti pasar, tenaga kerja, perburuhan, dan campur tangan pemerintah juga berperan dalam terjadinya perubahan organisasi.


Proses Perubahan Organisasi

Proses perubahan organisasi adalah konsep daur hidup atau life cycle. Organisasi mengalami proses kelahiran pertumbuhan, berkembang, kematangan, kemunduran dan akhirnya mengalami kematian sebagaimana dalam semua sistem biologi dan sistem sosial. Fase-fase perkembangan organisasi juga memiliki sifat kuantitatif dan kualitatif yang merupakan indikator "mati-hidup" suatu organisasi.
Organisasi juga harus melihat arah perubahan lingkungan yang pasti dan yang tidak pasti. Artinya, organisasi adaptif atas perubahan yang terjadi pada lingkungan di sekitarnya. Oleh karena itu, suatu organisasi haruslah mengembangkan strategi dalam mengadaptasi perubahan lingkungan, termasuk strategi dalam melakukan kontrol terhadap lingkungan. Untuk ini perlu kiranya merencanakan perubahan organisasi, termasuk di dalamnya mengembangkan organisasi.
Hubungan Kerja dan Struktur Organisasi

Hubungan kerja dan organisasi terdiri dari 3 bagian, yaitu:
1. hubungan kerja dalam organisasi;
2. tata formal dan tata informal dalam organisasi;
3. pedoman hubungan kerja dalam organisas.

Hubungan kerja dalam organisasi mempunyai makna bahwa organisasi itu menunjuk pada suatu aktivitas sosial yang teratur dengan tujuan tertentu. Dalam pengertian ini organisasi memiliki implikasi pada kemampuan untuk mengontrol hubungan-hubungan antarmanusia untuk mencapai tujuan tertentu. Oleh karena itu, hubungan manusia di dalam organisasi menjadi penting di mana hal tersebut menyangkut pemahaman mengenai kekuatan-kekuatan dan akibat dari perilaku orang per orang maupun kelompok-kelompok yang ada di dalam organisasi. Dalam suatu organisasi hubungan antaranggotanya diarahkan pada usaha untuk memahami dan menciptakan kondisi yang memungkinkan terjadinya kerja sama di antara mereka untuk mencapai tujuan.
Tata formal dan tata informal di dalam organisasi pada dasarnya mengacu kepada perangkat aturan atau tatanan yang mengatur bagaimana kerja sama itu dilakukan dan bagaimana tujuan itu dicapai. Pada setiap organisasi selalu memiliki aturan-aturan dimaksud baik yang tertulis (formal) dan dapat dirasakan eksistensinya oleh seluruh anggota organisasi maupun yang tidak tertulis (informal), tidak mengikat secara ketat, dan lebih merupakan kesepakatan dari anggota organisasi yang eksistensinya sangat dirasakan.
 Pedoman hubungan kerja dalam organisasi mengacu pada aturan atau ketentuan dasar organisasi yang mengatur mengenai hak dan kewajiban serta fungsi dan tugas serta tanggung jawab masing-masing dalam organisasi formal.
 

sosiologi agama

Dalam sosiologi, agama dikaji sebagai suatu fakta sosial. Munculnya sosiologi agama di akhir abad 19 sebagai disiplin baru dari sosiologi adalah untuk melihat agama sebagai situs pengetahuan yang dikaji dari sudut pandang sosiologis. Sosiologi agama tidak hendak melihat bagaimana seseorang beragama, akan tetapi untuk memotret kehidupan beragama secara kolektif yang difokuskan kepada peran agama dalam mengembangkan atau menghambat eksistensi sebuah peradaban suatu masyarakt. Dan sejarah peradaban kemanusiaan selama berabad-abad memang tidak pernah sepi dari hiruk pikuk aktualisasi agama dan kepercayaan –dengan berbagai definisinya- yang khas dan diwujudkan dalam perilaku keseharian masyarakat.
Seorang sosilog terkemuka asal Perancis, Emile Durkheim, dalam Muhni (1994) mendefinisikan agama sebagai : Religion is an interdependent whole composed of beliefs and rites related to sacred things, unites adherents in a single community known as a Church (satu sistem yang terkait anatar kepercayaan dan praktek ritual yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus, yang mampu menyatukan pengukutnya menjadi satu kesatuan masyarakat dalam satu norma keagamaan). Dari pengertian ini agama bisa dimaknai sebagai pembentuk formasi sosial yang menumbuhkan kolektifisme dalam satu komunitas masyarakat. Kesimpulan umum ini menjadi pijakan bagi para sosiolog agama dalam menjelaskan dimensi sosial agama dimana kekuatan kolektivisme agama dianggap telah mampu menyatukan banyak perbedaan antar individu dan golongan diantara pemeluknya. Di sini agama bisa dianggap mampu berperan dalam transformasi sosial menuju masyarakat yang membangun masyarakat secara kolektif.
Berbeda dengan pandangan di atas, Karl Marx memiliki pendapat yang agak sinis terhadap agama. Menurutnya agama tak lebih dari doktrin metafisik yang tidak material, dan hanya menitikberatkan pada orientasi pasca-kematian. Hal ini menurutnya agama telah dijadikan alat untuk membangun ”kesadaranpalsu” untuk mengalihan perhatian pemeluknya atas penderitaan nyata dan kesulitan dalam kehidupan mereka. Dalam memperkenalkan filsafat materialisme historisnya dalam kajian ideologi, Marx menjelaskan bahwa agama adalah imajinasi; atau lebih tepatnya khayalan yang melenakan. Agama menjadi suatu doktrin kepercayaan yang kerap digunakan sebagai alat legitimasi untuk mempertahankan hal-hal yang ada di dalam masyarakat sesuai dengan kepentingan para penindas.
Kritik Marx atas agama ini adalah refleksi dalam konteks zamannya dimana kekuatan agamawan pada waktu itu nyatanya tidak mampu menjadi penggerak atas struktur kapitalisme yang menindas masyarakat kelas bawah. Marx menyatakan agama mendukung dan melayani kepentingan tertentu yang terkait dengan dominasi kelas dan penundukan kelas Dia menyebutkan bahwa agama dari sudut sosialitasnya adalah rengekan golongan masyarakat yang tertindas. Agama tidak mamu menjadi alat perubahan dan perlawanan masyarakat miskin yang tertindas.

Bab I Pandangan Sosiologis Tentang Agama
Karena luas dan keanekaragaman pokok bahasannya, maka bidang agama merupakan sesuatu yang sulit untuk diukur dengan menggunakan penilaian sosiologi. Bagi kebanyakan di antara kita, perhatian utama terhadap agama bersifat perorangan dan individualistik. Dalam mengkaji agama tersebut kita cenderung memusatkan pada aspek-aspek etik dan kepercayaan yang lebih bersifat intelektual dan emosional.
William James, dalam definisinya tentang agama, membuang aspek-aspek agama yang bersifat universal, sosial dan institusional. James tertarik kepada agama sebagai fungsi universal masyarakat di mana saja mereka temukan. Perhatiannya adalah kepada agama sebagai salah-satu aspek dari tingkah laku kelompok dan kepada peranan yang dimainkannya selama berabad-abad hingga sekarang dalam mengembangkan dan menghambat kelangsungan hidup kelompok-kelompok masyarkat.
Orang pertama yang mendahului bahwa tidak ada definisi (agama) yang benar-benar memuaskan. Karena satu hal, agama dalam keanekaragamannya yang hampir tidak dapat dibayangkan itu memerlukan deskripsi (penggambaran) dan bukan definisi (batasan). Agama senantiasa dipakai untuk menanamkan keyakinan baru ke dalam hati sanubari terhadap alam gaib dan surga-surga telah didirikan di alam tersebut. Namun demikian agama juga berfungsi melepaskan belenggu-belenggu adat atau kepercayaan manusia yang sudah usang.
Agama memberi lambang-lambang kepada manusia. Dengan lambang-lambang tersebut mereka dapat mengungkapkan hal-hal yang susah diungkapkan, meskipun hakikat pengalaman keagamaan selamanya tidak dapat diungkapkan.
Penulis-penulis terdahulu seperti Tylor dan Spencer menganggap agama sebagai suatu hasil pemikiran manusia dan hasratnya untuk mengetahui. Durkheim, dan belakangan juga freud, mengemukakan landasan-landasan agama yang bersifat naluriah dan emosional. Semua yang dijelaskan tentang agama, bahwa agama itu merupakan produk kebudayaan, atau pengembangan dari aktivitas manusia sebagai makhluk pencipta kebudayaan.
Salah satu hal yang terpenting dalam agama pada masyarkat adalah ia harus percaya terhadap hal yang sakral, walaupun ini berkaitan dengan hal-hal yang penuh misteri baik yang sangat mengagumkan ataupun sangat menakutkan. Dalam semua masyarakat yang dikenal terdapat perbedaan antara yang suci dengan yang biasa atau, sering kita katakan, antara yang sakral dan yang sekuler atau duniawi (the sacred and the secular or the profane).
Ciri umum apakah yang kita temukan dalam berbagai benda dan wujud sakral yang hampir tidak terbatas ini, yang bisa disebut sakral? Apabila kita memperhatikan benda-benda dan wujud-wujudnya saja kita akan menemukan jawaban. Menurut emile durkheim, bukan benda-benda itu sendiri yang merupakan tanda dari yang sakral, tetapi justeru berbagai sikap dan perasaan yang memperkuat kesakralan benda-benda itu. Dengan demikian kesakralan terwujud karena sikap mental yang didukung oleh perasaan.
Berkaitan erat dengan yang sakral, atau suci, adalah yang tidak suci; yang mencakup apa saja yang dianggap mencemarkan yang suci itu. Untuk menghindari kemungkinan timbulnya pencemaran inilah hal-hal yang sakral di pagari dengan larangan-larangan atau tabu-tabu.

Bab II Fungsi-Fungsi Agama Dalam Masyarakat
Istilah fungsi, menunjuk kepada sumbangan yang diberikan agama, atau lembaga sosial yang lain, untuk mempertahankan masyarakat sebagai usaha-usaha yang aktif dan berjalan terus-menerus.
Tujuan yang diharapkan untuk meningkatkan kesempatan mencapai kebahagiaan Nirwana (surga), sedangkan yang diharapkan orang metodis dengan perbuatannya itu adalah untuk menyalurkan kebahagiaannya karena yakin bahwa dia diselamtkan karena rahmat Tuhan dari dosa-dosanya. Tujuan-tujuan lain yang diakui oleh para anggota berbagai kelompok keagamaan itu berkaitan dengan kehidupan di dunia lain, masuk surga dan terhindar dari neraka, meringankan (beban) arwah di tempat penyucian dosa, dan memperoleh jaminan untuk berpindah ketingkat kehidupan yang paling tinggi. Meskipun demikian para penganut agama lainnya mungkin mengatakan bahwa tujuan mereka adalah mengharmoniskan jiwa mereka dengan alam semesta, mengagungkan Tuhan dan melaksanakan kehendak-nya secara sempurna, atau dengan sembahyang, berdoa mereka membujuk dewa-dewa agar berkenan memberikan rahmat kepada umat manusia.
Tanpa adanya maksud-maksud yang disadari semacam itu, sangat boleh jadi tingkah-laku keagamaan tidak akan dilaksanakan. Akibat-akibat yang tidak disengaja dari tingkah-laku mereka seringkali lebih penting bagi pemeliharaan masyarakat daripada tujuan-tujuan mereka yang disadari. Maksud dari itu semua fungsi-fungsi yang tidak disengaja yang dilaksanakan oleh suatu bentuk tingkah-laku institusional tertentu kadang-kadang dinyatakan oleh sarjana sosiologi sebagai fungsi latent (tersembunyi); sedangkan fungsi yang disengaja, tujuan-tujuan yang resmi dari lembaga tersebut disebut fungsi manifest (nyata).
Sumbangan agama terhadap pemeliharaan masyarakat. Pertama, masyarakat mempunyai kebutuhan-kebutuhan tertentu untuk kelangsungan hidup dan pemeliharaannya sampai batas minimal, dan kedua, agama berfungsi memenuhi sebagian di antara kebutuhan-kebutuhan itu, meskipun mungkin terdapat beberapa kontradiksi dan ketidakcocokan dalam cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Oleh karena itu beberapa jenis persetujuan bersama, atau konsesnsus, mengenai wujud kewajiban-kewajiban yang sangat penting ini, begitu juga mengenai adanya kekuatan yang mampu memaksa orang-orang dan pihak-pihak yang bersangkutan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut, minimal diperlukan untuk mempertahankan ketertiban masyarakat.
Pada umumnya sesuai dengan nilai-nilai sosial. Bahwasanya masyarakat sedikit banyak ditemukannya konsep-konsep yang jelas mengenai tingkah-laku yang diakui sesuai standar tingkah-laku itu. Yang membentuk nilai-nilai sosial ini, sering disebut oleh sarjana-sarjana sosiologi sebagai norma-norma sosial.
Karya Durkheim di bandingkan dengan karya-karya para sarjana sosiologi lainnya lebih banyak mengungkapkan hakikat antaraksi antara nilai-nilai sosial dan norma-norma yang berkaitan dengan kewajiban sosial dan kewajiban moral oleh sebagian besar anggota masyarakat.
Dengan demikian nilai-nilai keagamaan merupakan landasan bagi sebagian besar sistem nilai-nilai sosial, maka pelajaran-pelajaran yang paling penting bagi anak-anak adalah dalam lapangan yang sekarang sering kita sebut pendidikan agama (religious education). Dari sebagian hal lain itu orang yang gagal menurut ukuran dunia sekuler, karena penghayatannya terhadap nilai-nilai keagamaan, boleh jadi dapat menerima dan menjelaskan secara lebih baik kepada dirinya sendiri kekurangberhasilannya di dunia ini tanpa harus mengalami kehancuran kepribadian. Maka harus ada kerja keras dan usaha yang mendorong dari semua itu.

Bab III Tipe-Tipe Masyarakat dan Agama
Di dalam seluruh masyarakat, sebagaimana telah diuraikan, orang yang membedakan antara masalah-masalah yang sakral dan yang sekuler. Ada tiga tipe masyarakat. Tipe pertama adalah masyarakat dimana nilai-nilai yang sakral kuat sekali. Masyarakat yang kecil, terisolasi dan terbelakang. Tingkat perkembangan teknik mereka rendah dan pembagian kerja atau pembidangan kelas-kelas sosial mereka relatif masih kecil. Keluarga adalah lembaga mereka yang paling penting dan spesialisasi pengorganisasian kehidupan pemerintahan dan ekonomi masih amat sederhana.
Penganut agama yang sama; oleh karena itu keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain, baik yang bersifat ekonomis, politik, kekeluargaan maupun rekreatif.
Tipe masyarakat ini cukup kecil jumlah anggotanya karena sebagian besar adat-istiadatnya dikenal. Masyarakat ini berpendapat bahwa pertama, agama memasukkan pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem nilai masyarakat secara mutlak; kedua dalam keadaan lembaga lain selain keluarga, relatif belum berkembang, agama jelas menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan dari masyarakat secara keseluruhan.
Tipe kedua mencerminkan sejenis lingkungan di antara dua tipe lain tersebut. Tipe kedua ini tidak begitu terisolasi, berubah lebih cepat, lebih luas daerahnya dan lebih besar jumlah penduduknya, tingkat perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada masyarakat-masyarakat tipe pertama. Ciri-ciri umumnya adalah pembagian kerja yang luas, kelas-kelas sosial yang beraneka ragam, pertanian dan industri tangan, beberapa pusat perdagangan kota. Batas-batas yang lebih tegas dapat diketahui kapan orang-orang pergi berkerja, bermain, atau pergi bersembahyang daripada, misalnya di kalangan penduduk (pulau) Trobriand.
Agama tentu saja memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tipe masyarakat ini, akan tetapi pada saat yang sama lingkungan yang sakral dan yang sekuler itu sedikit banyaknya masih dapat dibedakan.
Tipe ketiga adalah masyarakat di mana nilai-nilai sekuler sangat berpengaruh. Deskripsi di bawah ini jelas agak condong kepada masyarakat perkotaan modern di Amerika Serikat. Akan tetapi yang disebut terakhir ini, karena tingginya tingkat sekularismenya, bisa dianggap sebagai salah-satu contoh yang apling mirip dengan masyarakat tipe ketiga ini.
Dalam tipe masyarakt ketiga ini karena sekuler di bidang ekonomi bisa juga mengambil warna sakral yang semu. Di dalam banyak deskripsi yang populer mengenai tatanan ekonomi pada masyarakat modern tampak bahwa seringkali kata uang dapat diganti dengan moral, tanpa terfikir apakah ini merupakan kesalahan cetak atau kesalahan tulisan.
Tingkah-laku sejumlah orang dalam masyarakat industri yang relatif modern dibentuk semata-mata, atau bahkan terutama, sesuai dengan nilai-nilai keagamaan. Kelemahan nilai keagamaan sebagai suatu fokus pengintegrasian, tentu saja, antara lain di sebabkan oleh keanekaragaman sistem nilai dari berbagai organisasi keagamaan yang seringkali berusaha mendaptkan kesetiaan setiap individu anggotanya.
Eksistensi sub-sub masyrakat yang lebih kecil di dalam masyarakat kita yang lebih luas ini dengan konsepsi mereka yang berbeda-beda tentang peranan agama menimbulkan konflik-konflik dan ketidaksesuaian baik dalam tatanan sosial maupun dalam kepribadian mereka.
Bab IV Agama dan Ketegangan Manusia
Di kalangan semua masyarakat terdapat masa-masa di mana segala sesuatu berjalan lancar, kewajiban-kewajiban sosial berjalan normal, dan pria-wanita melaksanakan peranan sosial mereka dengan cukup aman sehingga teman-teman mereka akan melaksanakan hal yang sama pula. Bahwa mereka dapat saling mempercayai satu sama lain, dan mereka tahu sebagian besar dari apa yang dapat mereka harapkan di dunia natural maupun dunia sosial.
Pada saat-saat kebanyakan masyarakat di mana orang melakukan pekerjaan tanpa ketegangan yang berarti dan alat-alat yang tersedia pada mereka cukup untuk mencapai tujuan yang didambakan, tapi kenyataannya tidak selalu demikian.
Akan tetapi kita mengetahui bahwa tragedi dan ketegangan itu merupakan sifat dasar dari situasi manusia. Baik itu besar atau kecil, dalam semua tipe masyarakt antara harapan-harapan yang dilandasi oleh sikap budaya mereka dan tercapainya harapan-harapan tersebut. Oleh karena itu cara ilmiah yang praktis, bagaimanapun tinggi perkembangannya, tidak pernah cukup untuk memenuhi situasi manusia. Maka adapula yang menggunakan cara ilmiah modern kemungkinan antisipasi dari terciptanya teknologi yang pesat, secara tidak langsung telah mendorong terciptanya aura-aura baru yang tidak dapat di kuasai.
Demikian pula dari satu segi, agama dapat dianggap-meskipun sama sekali tidak berarti bahwa ini adalah gambaran yang tuntas-sebagai salah-satu cara yang paling pengting bagi manusia untuk menyesuaikan diri dengan situasi-situasi yang penuh ketegangan itu. Situasi-situasi ketegangan dapat dibagi dalam dua kategori utama. Kategori pertama mencakup situasi-situasi di mana individu atau kelompok-kelompok dihadapkan dengan hilangnya orang-orang lain yang penting bagi mereka. Lalu dengan kategori kedua, yang penting adalah situasi-situasi di mana kekuatan-kekuatan alam yang sebagian besar tidak dapat dikuasai dan diramalkan bisa membahayakan kebutuhan vital masyarakat yaitu persediaan makanan dan kesehatan.
Kematian selain tidak dapat diramalkan juga berada di luar kekuasaan manusia. Meskipun kita semua mengetahui bahwa kita pasti akan mati, namun hampir tak seorang pun mengetahui kapan kematian itu akan terjadi. Tak seorang pun, selain barangkali orang yang bunuh diri, dapat merencanakan kematiannya, apalagi mengaturnya. Antara lain karena ketidakpastian inilah kita menemukan interpretasi- interpretasi keagamaan tentang kemtian dalam setiap masyarakat.
Seorang sarjana sosiologi mengira apabila dalam masyarakat kematian yang belum waktunya sudah tidak ada lagi, melalui penerapan ahli seperti dokter dan usaha-usaha untuk menghindar dari terjadinya kecelakaan- kecelakaan, sehingga setiap orang dapat mengharapkan hidup sampai umur 70 tahun, sebagian peranan yang sekarang dimainkan agama dalam urusan- urusan kemanusiaan barangkali akan berubah secara mendasar.
Agama sering dilibatkan terhadap penyesuaian diri dalam berbagai hal seperti istilah magi dalam menguasai yang gaib pada praktik-praktik keagamaan yang semu. Dan agama dilirik oleh sains yang memberi manusia cara-cara empirik dan praktis untuk menyesuaikan diri dengan situasi tersebut. Yang pada akhirnya magi, sains dan agama memberikan tipe-tipe masyrakat yang bermacam-macam. Akan tetapi unsur penyesuaian diri tersebut sama sekali tidak berasal dari lingkungan yang sama. Walaupun memiliki penyerapan dan penafsiran yang berbeda.
Tujuan-tujuan agama terarah kepada hal-hal yang nonempirik, atau dunia lain yang gaib (adikodrati). Meskipun agama seringkali berkaitan dengan kesejahteraan jasmani dan sosial umat manusia, namun agama selalu mempunyai titik acuan yang transendental.
Bab V Agama, Masalah Makna dan Masyarakat
Setiap masyarakat yang telah mampu mempertahankan dirinya dalam jangka waktu lama di tengah-tengah peperangan-peperangan dan kemelut-kemelut yang terjadi berbarengan dengan kehidupan berkelompok mereka, telah mampu mengembangkan sejumlah interpretasi moral terhadap pandangan hidupnya sendiri, sebagai penjelasan tentang persoalan makna kemasyarakatan. Pada kenyataanya juga sama pentingnya adalah bahwa sampai sekarang tak ada sekelompok orangpun yang mampu memberikan penjelasan tentang makna sistem sosialnya yang mengikat erat secara moral itu, tanpa memasukkan beberapa unsur, betapa kecilnya, di luar makna umum yang empirik.
Pertimbangan-Pertimbangan tersebut di atas memberikan konteks umum dengan peranan agama dalam memberikan penafsiran-penafsiran secara moral tentang sejarah umat manusia dan aturan-aturan sosial.
Salah-satu diantara perhatian utama sarjana sosiologi adalah makna yang diberikan oleh agama-agama tertentu mengenai perbedaan-perbedaan posisi dan harga diri kelas-kelas sosial yang beraneka ragam. Dan mengulas interpretasi-interpretasi keagamaan mengenai sistem-sistem stratifikasi sosial.
Bagaimanapun juga pengkajian sosiologis selayaknya kita terapkan pada tempatnya. Di antara pada pengkaji boleh jadi ada yang setuju dengan pemikiran Marxis yang menganggap segala macam interpretasi keagamaan merupakan sekedar rasionalisasi-rasionalisasi, atau bahkan ada yang patuh juga kepada agama tertentu dan juga yang munafik, tetapi memenuhi keinginan-keinginan dari kelas-kelas yang sedang berkuasa.
Oleh karena itu pembahasan di bawah ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk memisahkan atau menyendirikan faktor-faktor material dan ekonomi di satu pihak dan faktor-faktor keagamaan dan spiritual di lain pihak.
Sistem-sistem kelas memberikan status yang berbeda-beda dan tidak sama kepada anggota-anggota suatu masyarakat. Akibat dari ketidaksamaan sosial tersebut kadang-kadang tidak hanya sangat tajam tetapi juga diperlakukan secara ketat. Situasi ini lagi-lagi menimbulkan masalah penafsiran terhadap sistem sosial dalam pengertian moral dan yang bermakna.
Sistem kelas-kelas atau tingkat-tingkat sosial di Eropa pada abad pertengahan dalam hal-hal yang penting berbeda dengan sistem kasta dalam agama Hindu. Metode yang digunakan oleh pandangan keagamaan untuk memberi makna moral kepada sistem kelas di abad pertengahan tersebut juga berbeda. Dengan demikian sistem pada abad pertengahan tersebut menghidupkan terus ketidaksamaan-ketidaksamaan yang besar memerlukan interpretasi secara moral.
St. Augustine, yang bukunya City of God paling jelas mengungkapkan konsepsi tujuan ini, menjelaskan bahwa pembenaran moral dari umat adalah untuk mempertahankan kondisi-kondisi semacam itu sehingga orang-orang kristen dapat menjalankan kehidupan duniawi mereka untuk menyelamatkan jiwa-jiwa mereka yang abadi. Selain itu Lembaga-lembaga ekonomi, begitu juga sistem-sistem kelas yang berkaitan, memerlukan interpretasi moral. Pemerataan kekayaan dan cara-cara memperolehnya bisa menimbulkan perasaan-perasaan ketidakadilan dan ketidaksamaan. Di dalam masyarakat-masyarakat ini berbagai ketidakadilan dan ketidaksamaan nasib individu-individu dan negara-negara dengan berbagai bentuknya adalah jelas. Akan tetapi interpretasi-interpretasi sekuler terhadap makna tatanan sosial itu timbul bersama-sama dengan timbulnya interpretasi-interpretasi keagamaan. Oleh karena itu nasionalisme, komunisme dan mungkin demokrasi itu sendiri bisa menjadi agama-agama semu, yang merupakan tandingan agama spritual tradisional.

Bab VI Organisasi Keagamaan
Semua organisasi sosial yang dimaksudkan untuk membentuk tingkah-laku manusia sesuai dengan pola yang ditentukan, baik pola yang ditetapkan oleh doktrin agama, ajaran etik maupun oleh filsafat politik, pasti menghadapi suatu dilema. Jika organisasi tersebut ingin berhasil dalam memperdaya masyarakat sesuai dengan arah tujuannya masing-masing, maka organisasi tersebut harus berhasil dalam dua sektor.
Di satu pihak organisasi tersebut harus menertibkan kebiasaan-kebiasaan para anggotanya sesuai dengan cita-cita yang ingin dicapai. Di lain pihak, apabila organisasi itu juga ingin mempengaruhi masyarakat yang lebih luas, mereka jelas harus mengembangkan organisasi dan memperbesar pengaruhnya yang potensial dengan cara memasukkan orang-orang yang mempunyai kedudukan dan kekuasaan di luar lingkungan mereka. Kedua persyaratan ini ibarat buah simalakama, karena keberhasilan pada salah-satu sektor saja biasanya menimbulkan bahaya pada sektor lainnya.
Oleh karena itu organisasi keagamaan dihadapkan kepada salah-satu di antara dua pilihan: melestarikan kemurnian etik dan spiritualnya dengan risiko lingkungan pengaruh sosialnya terbatas, atau jika organisasi tersebut ingin berpengaruh kuat dalam masyarakat tertentu, mungkin risikonya adalah mengorbankan semua atau sebagian dari cita-cita uatamanya sendiri.
Dilema pokok dalam organisasi keagamaan bisa dilihat lebih jelas apabila kita mengkaji salah-satu di antara manifestasi-manifestasinya yang penting, yaitu gerakan keagamaan. Gerakan keagamaan di sini berarti setiap usaha yang terorganisasi untuk menyebarkan agama baru atau interpretasi baru mengenai suatu agama yang sudah ada. Gerakan-gerakan semacam itu pada umumnya melalui serangkaian tahap yang relatif teratur baik dan setelah fase-fase pengembangan yang pertama gerakan-gerakan tersebut biasanya jadi mantap hubungannya dengan agama-agama lain. Fase-fase yang lebih tenang dari gerakan-gerakan keagamaan semacam itu bisa menjadi sumber timbulnya gerakan-gerakan keagamaan berikutnya.
Fase pertama, suatu gerakan keagamaan dipengaruhi oleh kepribadian pendirinya. Pada fase kedua, gerakan tersebut para pengganti si pendiri dipaksa untuk memecahkan dan menjelaskan masalah-masalah penting mengenai organisasi, kepercayaan, dan ritus yang dibiarkan tidak terurus selama si pendiri masih hidup. Pada tahap ini gerakan tersebut secara khas menjadi apa yang sekarang kita sebut dengan sebuah gereja : yaitu organisasi formal dari suatu kelompok pemeluk yang mempunyai kesamaan dalam kepercayaan-kepercayaan dan ritus-ritus bersama yang tetap terhadap benda-benda dan wujud-wujud sakral yang mereka sembah.
Sebaliknya, sekte, pada umumnya merupakan kelompok kecil yang eksklusif, dan yang anggota-anggotanya bergabung secara sukarela, biasanya orang-orang dewasa. Sekte-sekte terdiri dari dua jenis pokok: yaitu sekte-sekte yang menarik diri dan sekte-sekte yang militan.
Denominasi (denomination) adalah kelompok yang relatif stabil, sering ukuran dan kompleksitasnya besar, yang mendapatkan anggota-anggotanya sebagian besar karena merasa berhak. Sedangkan Cult adalah suatu tipe kelompok keagamaan kecil yang dalam beberapa hal sama dengan sekte, meskipun keanggotaannya berbeda. Terkadang kepemimpinan cult bersifat kharismatik, informal, tidak tentu dan dipengaruhi oleh kondisi-kondisi kota metropolitan yang relatif tidak dikenal bahkan kadang-kadang korup juga. Kepercayaan-kepercayaan cult sering menekankan salah-satu aspek tertentu dari ajaran Kristen. Meskipun tipe-tipe organisasi-organisasi keagamaan yang beraneka-ragam itu mungkin bisa hidup bersama dalam satu masyarakat, walaupun ada beberapa masyarakat yang sesuai ataupun tidak.
Bab VII Agama Dalam Masyarakat Amerika
Pembahasan disebutkan bermacam-macam ilustrasi yang diambil dari suasana Amerika. Tapi sejauh ini telah dibicarakan fungsi-fungsi, organisasi dan perubahan-perubahan pada sistem-sistem keagamaan dalam kerangka sosial dan historis yang lebih luas. Generalisasi sosiologis memerlukan prosedur ini-maksudnya, memerlukan pengkajian bermacam-macam masyarakat, kebudayaan dan agama. Nilai-nilai bangsa Amerika modern barangkali tidak begitu tampak berkaitan dengan agama.
Aktivisme, universalisme dan individualisme–tiga buah contoh aliran yang sangat mengesankan—
boleh jadi paling tepat untuk dikemukakan sebagai contoh kecil dari nilai-nilai keagamaan yang melanda kehidupan bangsa Amerika.
Tipe organisasi keagamaan yang telah berkembang di Amerika Serikat, pada umumnya cocok dengan demoraksi politik dan industri kita. Kecocokan ini antara lain karena adanya dua unsur yang berhubungan dari lingkungan keagamaan di Amerika, kedua-duanya timbul sejak masa-masa pertama republik tersebut.
Situasi ini telah menimbulkan akibat-akibat besar, yang positif dan memungkinkan, bagi perkembangan demokrasi liberal. Gereja-gereja di Amerika terbuka terhadap masuknya pengaruh-pengaruh kuat dari sekulerisasi. Amerika Serikat sangat berbeda dengan Inggris, sebagai contoh, bahwa di sana suatu bentuk ecclesia baru sekurang-kurangnya mampu memanfaatkan kekuasaan pemerintahan dalam bidang-bidang pendidikan, rekreaksi, moral dan penyantunan.
Suatu sistem organisasi keagamaan yang majemuk serta pemisahan yang tegas antara gereja dan negara memperlemah kedudukan agama pada lembaga-lembaga kemasyarakatan yang lain. Mengenai organisasi keagamaan yang merefleksikan dan bukannya memberi warna kepada masyarakat Amerika tergambar dalam kesejajaran antara pembagian-pembagian kelas sosial dan berbagai denominasi yang ada.
Tingkatan sosial denominasi-denominasi keagamaan tersebut memang diakui sesuai dengan sistem kelas bangsa Amerika yang bersifat terbuka.
Perpindahan besar-besaran yang terjadi pada dasawarsa terakhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 membawa masuk sejumlah besar masyarakat petani dari Eropa bagian selatan dan timur ke kota-kota kita yang telah padat, termasuk di antara mereka adalah orang-orang yang menganut agama-agama Katolik Romawi, Ortodoks Yunani dan juga agama Yahudi.
Secara organisatoris, beberapa di antara gereja-gereja ini sangat berbeda dengan aliran gereja Protestan di Amerika, suatu kenyataan yang kadang-kadang bisa menimbulkan ketegangan-ketegangan di bidang politik maupun keagamaan.
Namun demikian pada sisi positifnya, ketegangan-ketegangan dan ketidakserasian-ketidakserasian dalam struktur sosial tersebut bisa dianggap sebagai dorongan untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian secara kreatif yang kemungkinan timbulnya banyak variasi dalam struktur sosial tersebut.
Terdapat bukti bahwa sampai batas tertentu hal ini telah terjadi di Amerika Serikat dan bahwa upaya secara terus-menerus untuk menciptakan kesatuan dalam keanekaragaman dan ketertiban dengan kebebasan sangat mendukung bagi suatu eksperimentasi yang bermanfaat baik di bidang sosial maupun politik.


  1. PENDAHULUAN
Dari sudut pandang sosiologis kebudayaan dilihat sebagai pola kelakuan warga masyarakat yang bersangkutan. Cara berpikir dan bertindak, bahkan cara mengembangkan perasaan tidak dilakukanorang tanpa patokan, tetapi mengikuti satu pola tertentu, suatu pola yang sudah dikenal dan disepakati bersama dan hendak dilestarikan eksistensinya. Anggota baru yang masuk ke dalam satuan budaya itu karena kelahiran atau sebagai pendatang, dan belum mengenal pola tingkah laku masyarakat itu, diwajibkan mengenal dan mempelajari serta membiasakan diri untuk berbicara dan bertindak sesuai dengan kebudayaan setempat.1
Kebudayaan menjadi perhatian para strukturalis, salah satunya Pierre Bourdieu yang memiliki konsep habitus. Menurut Bourdieu aturan budaya yang tersirat dalam karya mereka terlalu mekanis, tidak berbeda dengan arah kecenderungan di atas. Sebagai alternatifnya, ia mengajukan konsep habitus yang lebih fleksibel. Habitus ini didefenisikan sebagai seperangkat skema (Tatanan) yang memungkinkan agenn-agen menghasilkan keberpihakannya kepada praktik-praktik yang telah diadapttasi atau disesuaikan dengan perubahan situasi yang terus terjadi.
Dalam tulisan ini teori Bourdieu tersebut akan diterapkan atau dikaitkan dengan satu objek yang pada dasarnya berkaitan, karena objek tersebut, bisa dikatakan sebuah komunitas ataupun sekumpulan individu dalam masyarakat yang memiliki kesamaan usia dan fisik yang dapat memberikan ciri khas dalam keanggotaan mereka di masyarakat. Dimana, ciri tersebut terbentuk dari struktur sosial di luar diri mereka yang diinternalisasikan dan kemudian menjadi habitus.

  1. PEMBAHASAN
  1. Teori Habitus Pierre Bourdieu
Habitus didefenisikan sebagai seperangkat skema ( tatanan ) yang memungkinkan agen-agen menghasilkan keberpihakannya kepada praktek-praktek yang telah diadaptasi atau disesuaikan dengan perubahan situasi yang terus terjadi. Intisari dari hal ini adalah sejenis “improvisasi yang teratur”, sepotong prase yang berasal dari rumusan dan tema puisi lisan yang dikaji oleh Albert Lord.2
Selain itu, habitus juga didefenisikan sebagai struktur mental atau kognitif yang digunakan actor untuk menghadapi kehidupan sosial. Habitués dibayangkan sebagai struktur sosial yang diinternalisasikan yang diwjudkan. Sebagai contohnya, kebiasaan makan dengan menggunakan tangan kanan, yang dipelajari seseorang sejaka kecil dari orang-orang yang ada disekittarnya, sehingga terbawa sampai ia dewasa, karena kebiasaan tersebut sudah ia internalisasikan dalam dirinya. Sebagai contoh lainnya, yaitu kebiasaan seseorang berjalan di sebelah kiri pada jalan umum dan raya, dikarewnakan peraturan lalu-lintas, dimana hal itu merupakan peraturan dalam kehidupan sosial yang harus ditaati, karena ketaatan dari individu tersebut, hal yang tadinya merupakan peraturan menjadi kebiasaan kareana sudah terinternalisasi dalam diri setiap individu. Sehingga dapat dikatakan bahwa habitus adalah struktur sosial yang diinternalisasi sehingga menjadi suatu kebiasaan yang terus diwujudkan.
Habitus yang ada pada waktu tertentu merupakanhasil ciptaan kehidupan kolektif yang berlangsung selama periode histories yang relative panjang. Habitus menghasilkan, dan dihasilkan oleh kehidupan sosial. Dan tindakanlah yang mengantarai habitus dan kehidupan sosial. Menurut Bourdieu, habitus semata-mata “mengusulkan” apa yang sebaiknya dipikirkan orang dan apa yang sebaiknya mereka pilih untuk sebaiknya dilakukan.3 Seperti halnya makan, minum, berbicara, dan lain sebagainya.

  1. Penerapan Teori Pierre Bourdieu dalam kehidupan Remaja
Remaja merupakan bagian dari masyarakat yang sangat menarik untuk dibicarakan, karena remaja memiliki banyak hal yang menarik untuk diteliti.
Masa remaja adalah masa transisi, dimana peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Pada masa ini remaja banyak mendapatkan goncangan dikarenakan bbanyak hal dilematis yang harus mereka hadapi. Pada satu sisi remaja dikatakan tidak dapat menyelesaikan masalahnya sendiri, dan disisi lain remaja menganggap dirinya mampu menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa campur tangan dari orang disekitarnya, hal inilah sebagai salah satu penyebab ketergoncangan remaja.
Sikap dan tingkah laku remaja, pada dasarnya disesuaikan dengan masa dan lingkungan yang ada disekitarnya. Tidak bisa seseorang mengatakan, kenapa remaja sekarang begini tidak seperti dulu dan sebaliknya. Mungkin bagi seorang sosiolog, pemikiran seperti itu sangat kolot dan tidak dipahami dari situasi dan kondisi yang ada. Remaja sebagai agen dalam pemikiran Bourdieu, bersikap dan bertingkah laku ataupun berbicara yang menjadi ciri suatu remaja pada satu waktu adalah sosialisasi, dimana remaja sebagai makhluk sosial dari sejak kecil, belajar makan, berbicara, berpakaian, dan lain sebagainya adalah merupakan hasil dari ia berinteraksi dari lingkungan sosial yang ada disekitarnya, sehingga terkadang semua yang ada di dalam diri remaja itu adalah cerminan dari struktur sosial yang ada di sekitarnya. Apa yang ia pelajari lalu ia terapkan dalam kehidupan sosial dan berlangsung terus menerus sehingga apa yang ia pelajari itu terinternalisasi dalam dirinya, sehingga menjadi habitus yang menjadikan remaja ataupun masyarakat lainnya berbeda.
Apalagi jika berbicara remaja sekarang, dulu, desa, ataupun kota, cukup jelas sekali. Pada masa-masa 1980-an dan sebelumnya remaja sangat menurut dengan apa yang dikatakan orang tua ataupun orang lain yang lebih tua darinya, kehidupannya pun sangat sederhana, pulang sekolah membantu orang tua, dan setelah itu langsung pergi ke surau untuk mengaji, karenaga tidak banyak yang bisa dilakukan oleh remaja pada masa itu. Hal ini juga menggambarkan remaja desa yang tidak banyak memiliki kesempatan dalam menikmati kehidupan sebagai remaja.
Lain halnya dengan remaja pada zaman sekarang, kebebasan pemikiran yang memang menjadi landasan di suatu negara, khususnya Indonesia, menjadikan generasi muda semakin bebas berpikir dan merasa dapat bertindak bebas pula. Sebagai contoh, remaja dalam suatu wadah tertentu, lebih banyak menghabiskan waktu untuk hura-hura, berkumpul membicarakan hal yang tidak penting ataupun sekedar makan maupun jalan. Teknologi yang maju menjadikan banyak perubahan dalam perilaku remaja. Gambaran remaja yang hedonis dalam media televisi dalam bentuk sinema elektronik (Sinetron), hal itu mereka lihat dan secara tidak langsung mereka lakukan dan lambat laun masuk ke dalam diri mereka, sehingga perilaku mereka pun menjadi hedoinis pula.
Pergaulan remaja yang sekarang juga banyak dikaitkan dengan seks bebas, pada dasarnya diperoleh remaja dari lingkungan sosialnya, baik dari teknologi yang semakin maju, maupun lingkungan sosial yang dekat dengan remaja, atau dengan kata lain lingkungan sosial sangat berperan dalam menjadikan habitus remaja, khususnya keluarga.

III. PENUTUP
Remaja yang berbeda tempat, waktu, anggota dapat menjadikan remaja yang berbeda pula. Karena pada dasarnya manusia yang bermasyarakat selalu berbeda berdasarkan lingkungan, waktu, kondisi pada masanya, sehingga interaksinya pun berbeda. Namun, hal-hal ini yang sebelumnya merupakan struktur sosial biasa menjadi ciri suatu komunitas tertentu yang diinternalisasikan menjadi sebuah habitus bagi remaja tersebut.
  1. REFERENSI
  1. D. Hendropuspito, OC., SOSIOLOGI SISTEMATIK, (Kanisius: Jakarta), 1989
  2. Peter Burke, SEJARAH DAN TEORI SOSIAL, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), 2001
  3. Ritzer, George, dan Goodman, Douglas, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana,2003.