Selasa, 05 Juli 2011

orgasme kekuasaan

Istilah orgasme tak hanya terkait soal seks. Pengertian orgasme sudah meluas. Seperti halnya onani, beberapa penulis menggunakannya untuk pengertian onani politik, onani spiritual, dan onani-onani yang lain. Orgasme, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah puncak kenikmatan seksual. Secara medis orang yang orgasme akan mengalami kontraksi otot yang menimbulkan sensasi luar biasa. Konon tak bisa dilukiskan dengan kata-kata apapun. Demikian halnya dengan orgasme kekuasaan. Sebuah sensasi seseorang yang tengah menikmati titik puncak kenikmatan saat berkuasa.
Meski dalam konteks berbeda, orgasme dalam pengertian seks dan kekuasaan punya ciri yang sama. Pelakunya sama-sama “lupa diri”. Orang yang mengalami orgasme secara seksual seringkali lupa tindakanya telah melanggar norma-norma hukum, sosial, dan agama. Lupa dirinya sudah berkeluarga. Lupa lawan mainnya adalah istri atau suami orang. Akal sehat dan nuraninya menjadi tumpul ketika hawa nafsu tengah menguasai dirinya. Hanya satu kata dalam benaknya : puasss…!

Saya sering mengamati dan menemukan orang-orang yang sedang mengalami orgasme kekuasaan. Biasanya mereka tengah dipercaya menduduki jabatan, entah jadi penguasa kelas kakap maupun kelas teri. Mereka menunjukkan perilaku yang sama. Orgasme kekuasaan biasanya dicirikan : belagu, sok kuasa, bossy, maunya menang sendiri, munafik, tak mau kalah, sok merasa paling benar, merasa paling suci, tidak konsisten, akal sehat dan nuraninya tumpul, raja tega, tak bisa berempati, suka menghukum tapi gak pernah kasih reward, mereka suka mencari posisi aman, tak mau ambil risiko dengan jabatannya. Kata teman saya, mereka juga suka mencari-cari masalah. Kalau tidak ada masalah mereka cenderung mempermasalahkah sesuatu yang sebenarnya bukan masalah. Mereka merasa mengada jika ada masalah. Saat itulah mereka bisa menunjukkan keangkuhannya.
Susah
Susah memang menghadapi orang-orang yang sedang berselingkuh dengan kekuasaan. Mau kasih nasihat, toh mereka tak mau mendengar. Dikasih pengertian mereka pun tak mau mengerti. Bisa-bisa kita yang akan kena batunya. Serba repot. Di mata mereka, benar dan tidak benar, salah dan tidak salah menjadi sangat tipis batasnya. Tergantung siapa yang melakukan dan siapa yang menilai. Orang benar bisa dianggap pengkhianat. Kebalikannya mereka yang sebenarnya busuk justru bisa dianggap pahlawan…
Mereka tidak sadar, kekuasaan adalah amanah. Setiap amanah akan dipertanggungjawabkan baik terhadap sesama maupun kepada Tuhan. Dalam konteks agama kekuasaan mestinya bisa digunakan sebaik-baiknya untuk menebar kebaikan, menegakkan amar makruf nahi mungkar, lebih mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Orang yang berkuasa sejatinya berada pada posisi strategis. Mereka punya kekuatan untuk berdakwah secara nyata (dakwah bil hal). Sayangnya sebagian besar penguasa tak menyadarinya. Saat kekuasaan di tangan tidak membuatnya lebih dekat kepada Allah, melainkan makin menjauh dari nilai-nilai kebenaran. Bukankah Allah meminta untuk menggunakan tangan (kekuasaan) guna melakukan perubahan? Bandingkan dengan orang yang tak berdaya. Jika melihat ketidakberesan, paling banter cuma bisa berdoa. Padahal itu adalah bentuk selemah-lemah iman…
Mereka tidak sadar kekuasaan bersifat sementara. Seolah-olah akan menjadi penguasa selamanya. Karenanya mereka cenderung bersifat arogan. Sepertinya tidak disadari suatu saat kelak kursi yang didudukinya akan diminta oleh mereka yang memberi amanah. Kalau ini terjadi, mereka baru tersadar. “Oh, ternyata saya tak lagi berkuasa”. Tak bisa lagi memerintah, tak ada lagi orang yang bisa dimarah-marahi, tak ada lagi yang takut kepadanya, tak ada lagi orang yang bisa dikorbankan, tak ada lagi orang yang bisa dicari-cari kesalahannya. Jadilah post power syndrome. Sebuah sindrom orang yang lengser jabatan namun seolah-olah masih berkuasa. Tak bisa menerima kenyataan. Biasanya banyak orang menakutinya, mentaati perintah-perintahnya, begitu perkasa. Namun, setelah lengser, semuanya tidak ada apa-apanya lagi…

Bagi kawan-kawan saya yang saat ini lagi berkuasa, ingatlah. Orgasme yang Anda rasakan tidak akan berlangsung selamanya. Suatu saat Anda pun akan mengalami impotensi kekuasaan…

Jumat, 01 Juli 2011

AWAS, PEMIMPIN JANGAN MEMBIARKAN DIRI DIJILAT-JILAT

Kepemimpinan melibatkan banyak orang, mulai dari pemimpin puncak dan para pemimpin, para manajer, para administrator serta semua bawahan. Orang-orang ini terhimpun dalam suatu organisasi yang juga melibatkan berbagai kepentingan. Kepentingan-kepentingan ini dapat digolongkan dalam dua sisi, yaitu 1. Kepentingan organisasi, yang merupakan kepentingan utama, kepentingan bersama yang harus diutamakan. 2. Kepentingan pribadi, dari setiap unsur manusia terkait dalam organisasi. Untuk kepentingan pertama, orang cenderung membuktikan secara umum bahwa mereka mementingkan organisasi dengan “bekerja keras” misalnya. Namun, soal pementingan kepentingan organisasi ini akan teruji dengan mencaritahu sejauh mana kepentingan pribadi terkait di dalamnya. Dalam hubungan inilah akan terlihat siapa sesungguhnya yang memperjuangkan kepentingan organisasi dan siapa sesungguhnya yang pemperjuangkan kepentingan pribadi. Pada sisi yang kedua inilah akan terbukti siapa pejuang organisasi yang sejati, siapa manusia asal jadi, siapa penggembira, siapa penonton, dan siapa penjilat. Mencermati semua ini, kini muncul pertanyaan, “apakah pantas bagi pemimpin membiarkan dirinya dijilat-jilat oleh penjilat?” Marilah kita simak bersama:


 MEMAHAMI PARA PENJILAT DISEKITAR ANDA SEBAGAI PEMIMPIN

Setiap orang dikenal dari apa yang diperjuangkannya, karena “Anda akan selamanya menjadi apa yang Anda pikirkan, apa yang Anda katakan dan apa yang Anda lakukan.” Ini dapat dibaca lho, hanya, pemimpin sejati tidak cepat curiga, ia mawas diri dan membiarkan waktulah yang membuktikan siapa sesungguhnya para penjilat sejati! Karena itu, pemimpin sejati dapat mengindentifikasi, siapa manusia sejati yang memperjuangkan kepentingan organisasi, dan siapa manusia penjilat di sekitarnya. Para penjilat atau ingrasiator adalah orang yag suka mendekati pemimpin secara berlebihan dengan sikap seolah ingin menjadi tangan kanan utama. Bagaimana mengenal para penjilat ini? Pertama, para penjilat kelihatannya sebagai anjing peliharaan yang jinak pada mulanya. Mereka akan selalu mengatakan ya Pak, baik Pak demi menyenangkan pemimpin bagi kepentingan mengambil hati, mencuri hati, menguasai hati pemimpin untuk merebut kepercayaan pemimpin kepada dirinya, agar ia dapat dijadikan tangan kanan utama dari pemimpin. Di sini penjilat bersikap sangat suka menolong pemimpin. Penjilat secara berlebihan memamerkan bahwa ia membela kepentingan pemimpin, dan selalu berpihak terang-terangan kepada pemimpinan. Kedua, para penjilat biasanya memiliki agenda yang tidak tertulis, tetapi dapat dibaca oleh pemimpin yang bijaksana. Agenda itu isinya adalah “menjadi penguasa dibalik kekuasaan pemimpin.” Keinginan berkuasa ini sesungguhnya sudah nampak dari awal, yaitu “ia berupaya menyita perhatian pemimpin bagi dirinya” yang dikakukan secara licik. Untuk tujuan ini, ia akan menyingkirkan siapa saja yang berupaya mendekati pemimpin yang dilakukannya dengan cara apa pun. Pemimpin sejati perlu tahu bahwa di sini si penjilat sesungguhnya sedang berupaya merebut kekuasaan pemimpin secara licik pula.
Ketiga, para penjilat akhirnya memperlihatkan taringnya sebagai “serigala sejati,” tatkala ia memperoleh kepercayaan, khususnya berhasil menguasai kepemimpinan. Kalau si penjilat belum berhasil mnenjadi pemimpin tertinggi, ia akan menggunakan tangan pemimpin untuk menindas sesama. Ia akan selalu mengatakan “menurut bos, … ini perintah bos …! Kalau ia sudah menjadi penguasa, ia akan terbukti mendominasi semua bagi dirinya. Ia terbukti tidak memperjuangkan kepentingan organisasi! Ia tidak peduli dengan siapa pun kecuali dirinya, ia mendominasi apa pun dan siapa saja! Ia akan bersikap defensif yang arogan atas apa dan siapa saja. Inilah saat-saat loceng kematian organisasi berdentang dengan sendirinya. Indikatornya, akan ada sikap suka-tidak suka, pencideraan, dan pihak memihak, perpecahan. Kesatuan dalam organisasi pecah, banyak persoalan tidak terselesaikan muncul silih berganti, lalu sirna meninggalkan luka-luka batin.